
Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI
Latar cerita kali ini bukan di Quart School. Tapi akar permasalahannya masih nyambung dengan cerita di Quart School.
Hari ini, hari Minggu. Aku punya agenda penting di pagi hari ini, yaitu pergi ke tukang cukur. Nasib kawan, karena terlena dengan kegiatan membaca serta menggeluti hobi saat liburan, aku lupa merapikan rambutku. Rambutku tumbuh panjang, dan kemarin aku kena tegur Bu Hartini. Dibilangnya rambutku panjang macam preman saja. Jadi hari ini aku pergi ke tukang cukur.
Masalah lainnya kawan, di kampungku, sebuah kampung Melayu udik nun jauh terpinggirkan di pesisir, tak perlu kusebut-sebut lagi, hanya ada satu tempat bercukur. Itupun bukan barber shop modern dengan kursi-kursi yang nyaman, interior yang estetik dan peralatan lengkap. Itu hanya kios biasa, berukuran 2x3 meter, muat dua orang berdiri. Itulah tempat cukur Kang Amin. Sudah tersohor sampai melampaui batas-batas administratif.
Kang Amin selain merupakan tukang cukur satu-satunya sehingga orang kampung tidak punya pilihan lain, juga harus diakui punya skill cukur rambut yang tidak bisa dipandang enteng. Beliau berpengalaman. Beliau sinuhun dalam ilmu bidang cukur mencukur. Maka tempat cukurnya setiap hari ramai dipadati orang-orang. Apalagi hari minggu.
Karena tidak mau terjebak antrean yang mengular panjang, aku memutuskan berangkat ke sana pagi-pagi. Pukul 7.30 sudah standby aku di sana. Kang Amin bahkan belum datang, tapi sudah ada sekitar enam orang yang duduk di kursi panjang, kursi antrean yang disediakan. Selain menyediakan kursi, Kang Amin juga menyediakan nomor antrean yang bisa diambil duluan oleh pelanggannya. Aku mengambil nomor dan dapat nomor urut ke-7.
Singkat kata singkat cerita, Kang Amin datang dan perlahan antrean mulai terpangkas. Aku menunggu dengan sabar dalam diam, sebab tidak ada sesiapapun yang bisa kuajak mengobrol.
Tiba-tiba datang seseorang, langsung mengambil nomor antrean lalu duduk di sebelahku. Dia berarti nomor urut ke-8. Namun bukan itu yang menarik perhatianku. Melainkan orang ini, aku seperti mengenalnya.
Tapi dimana ya. Hei, aku bahkan merasa ingat siapa nama orang ini. Sebentar, biar kuingat-ingat.
Adam. Baiklah, itu nama manusia paling pertama, tapi sepertinya bukan patokan yang bagus untuk mengingat nama orang ini. Ya, ya sepertinya bukan.
Jajang. Ah terlalu konvensional.
Steven. Ini terlalu bagus. Namanya terlalu keren, sementara tampang orang ini udik dan amat kampungan.
Ari. Ah iya sudah mulai mendekati. Rasanya nama orang ini ada “Ri”-nya di belakang. Mari kita coba.
Saderi, ah bukan yang ini.
Khuderi, bukan juga.
Wulandari, bukan! Ini nama perempuan.
Arman. Bagus sih, tapi tidak berakhiran Ri. Ah jadi siapa nama orang ini. Kok aku lupa.