
Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI
Bu Hartini telah memutuskan, Fun Class tahun ini akan diramaikan dengan lomba pidato. Setiap lokal boleh mengirim satu orang perwakilan. Ada yang puas dengan keputusan Bu Hartini tersebut, tapi lebih banyak yang tidak.
Sementara itu, Aram segera mengumpulkan semua murid lokal 4 di kelas setelah kerumunan bubar di lapangan. Ini sudah menjadi semacam agenda rutinan bagi lokal kami setiap selesai mendengarkan pengumuman event besar. Aram mengumpulkan kami untuk berdiskusi, mengatur strategi terbaik untuk bisa memenangkan event besar yang akan dihadapi. Secara teknis, apa yang dilakukan Aram sebagai ketua kelas, bisa dibilang demokratis sekali.
“Pi-da-to,” tulis Aram pada papan tulis dengan tulisannya yang mirip cakar ayam, “bukan permulaan yang bagus untuk kita. Tapi tidak apa. Kita harus berusaha. Aku tak tahu apa yang kalian pikirkan, tapi aku sangat ingin lokal kita, bisa memenangkan Fun Class kali ini, kita harus memenangkan The Class Champions.”
“The Class Champions!” aku dan Wahid berteriak.
“The Class Champions!” seisi lokal ikut berteriak. Ini di luar dugaanku, kawan. Tak kusangka, ternyata semua orang di lokalku bersemangat memenangkan The Class Champions. Kukira ini cuma impian impulsif Aram saja. Rupanya banyak pendukungnya. Tak sia-sia tadi dia menyogok kami berdua agar berteriak-teriak setiap dia mengatakan The Class Champions.
“Bagus. Itu artinya kita satu tujuan. Baiklah, sebelum kita membicarakan tentang siapa yang akan mewakili lokal kita, apakah ada yang ingin menyampaikan sesuatu?”
Seseorang mengangkat tangannya. Dia bernama Hamed.
“Ya, silakan, Hamed.”
“The Class Champions!”
“The Class Champions!” tiba-tiba seisi kelas reflek berteriak. Aram naik pitam. “Woy, woy bukan waktunya berteriak! Silakan Hamed.”
“Terima kasih. Maafkan perkataanku sebelumnya, tapi aku ingin mengatakan bahwa kita tidak punya banyak peluang dalam lomba pidato kali ini.”
“Kenapa begitu?”