Bukan Badboy Penyelamat Sekolah

Muhammad Azhar
Chapter #19

Mozaik 19 : Perwakilan yang Dipaksa Cinta


Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI

“Kurasa aku harus memperingkas pembicaraan kita. Saatnya membicarakan hal terpenting. Siapa yang akan mewakili lokal kita dalam Fun Class tahun ini? Apakah ada yang bersedia?”

Aram bertanya dengan tenang, fasih, jelas dan mantap. Namun jawaban yang dia dapati adalah keheningan. Tak satupun bergeming, apalagi menjawab. Agaknya semua orang disergap perasaan yang sama. Merasa tak kompeten dan takut berpidato. 

Berpidato itu bukan soal gampang, kawan. Selain harus menciptakan narasi yang menarik dan bisa memikat penonton sampai ke taraf emosi tingkat lanjut, mereka juga harus menguasai ekspresi. Nah, untuk menguasai teknik ekspresi yang bagus, orang yang ingin berpidato harus berhadapan dengan salah satu ketakutan terbesar manusia. 

Takut berbicara di depan umum. 

Lima menit tidak ada yang menjawab, Aram mulai jengkel. Senyumnya yang tadi terlihat tulus dan manis, kini berubah jadi licik dan penuh rencana terselubung. Aku bisa membaca gerak-geriknya. Aram ingin menunjuk perwakilan itu, atau lebih tepatnya, memaksa salah satu murid untuk mewakili lokal 4. Aram mencari tumbal. 

“Hid, kau saja ya, kau bisa berpidato bukan?”

“Bijimu berpidato, Ram!” wajah Wahid langsung merah padam, “aku tak pernah berpidato seumur hidupku.”

“Coba kau teriakkan lagi yel-yel kita tadi,” pinta Aram. 

“The Class Champions!”

“The Class Champions!” sambut teman-teman yang lain. Aram tersenyum simpul. “Lihat, kau bisa memengaruhi orang. Kau bisa berpidato.”

“Ada-ada saja kau ini, Ram. Mawar saja.”

Tatapan buas Aram kini beralih pada Mawar. Mawar adalah manusia paling cantik di lokal 4. Dia menarik secara fisik. Belum lagi dia bicara, orang-orang sudah tersihir oleh pesonanya. Dalam berpidato, tentu saja penampilan itu penting bukan? Ide Wahid ini cukup jitu, tapi Mawar lekas menampik. 

“Jangan, jangan aku. Aku penggugup. Lia saja. Dia jago bicara.”

Tatapan Aram beralih lagi pada Lia. Sahabatku itu pun gelagapan mencari alasan. Dia juga tidak bersedia untuk berpidato. Lia segera menemukan alasannya begitu dia melihat ke arah kakinya.

“Jangan aku, Ram. Penampilanku kurang meyakinkan, Mei saja.”

Mei melotot, tapi tatapan Aram terlanjur terarah padanya. Mei langsung mengangkat tangannya yang terkepal kepada Aram. Mei memang wanita yang berterus terang, dan berani. 

“Jangan aku,” ujarnya, “Nasri saja.”

Seketika tatapan Aram menjadi seperti orang yang baru saja terinspirasi akan sesuatu. Saran Mei itu adalah solusi yang cemerlang. Nasri adalah bintang. Penampilannya menawan. Kata-katanya cerdas nan bernas. Kalau dia sedang sungguh-sungguh dengan ekspresinya, burung unta sekalipun, bisa jatuh cinta. 

Namun wajah terinspirasi Aram segera berubah menjadi mirip pantat burung unta saat Nasri menggeleng. 

“Tidak, jangan aku.”

Lihat selengkapnya