
Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI
Semarak kawan, dari ujung ke ujung semarak. Terutama di tengah lapangan, di mana ada sebuah podium besar disediakan di sana. Di sanalah 15 perwakilan dari tiap lokal, hari ini berlomba jadi yang terbaik sebagai orator.
Aku berangkat ke Quart School dengan sangat gugup, dan sampai di depan lokal seperti orang kena malaria. Menggigil bukan main. Gugupku menjalar sampai ke mata kaki. Di tengah-tengah kegugupanku itu, Aram sempat-sempatnya bilang, “kau harus menang Az. Kerahkan semua hasil belajarmu dengan Pak Hadi. Kamu sudah hafal di luar kepala bukan?”
Aku menggeleng. Apanya yang hafal. Yang ada nanti sebelum naik podium, kurasa aku sudah jatuh pingsan.
“Nih Az, sebagai bentuk support dari kami semua, kami patungan menyewakan jas untukmu. Nih biar kau tambah gagah.”
Wahid datang dan menyerahkan sebuah jas warna hitam padaku. Aku terkejut. Tak kusangka mereka akan melakukan ini. Aram juga tidak bilang-bilang. Kukira penampilanku yang dibalut kemeja putih dan celana kain hitam ini sudah cukup keren.
“Ayo Az, pasang.” Wahid mendesakku yang masih berdiri mematung karena bingung. Akhirnya, masih dengan tangan yang gemetar, kucoba memasang jas warna hitam itu. Jasnya bagus sekali, kawan. Kualitas nomor 1. Entah berapa banyak teman-temanku menghabiskan uang untuk ini. Ah makin tak enak aku dengan mereka kalau aku sampai kalah.
“Sudah kubilang, bagus sekali Az. Kau sekarang gagah bukan main.”
“Seharusnya ditambah dasi Az, biar makin keren,” kudengar Mei berkomentar, khas sekali dari dia, sekehendak dia.
“Aku rasanya punya dasi di tasku, sebentar kucarikan.”
Mawar lekas mengobrak-abrik tas miliknya, lalu dia mengeluarkan sebuah dasi yang juga berwarna hitam. Tanpa malu-malu dia mendekat dan memasangkan dasi itu padaku.
“Terima kasih.”
Mawar mengacungkan jempol.
“Sekarang Azka tidak kalah tampan dengan Nasri,” Lia mencelutuk. Aku tertawa masam. Jadi maksudnya kalau sehari-hari, aku kalah jauh dengan Nasri begitu?
“Sudah Az, fokus saja dulu. Kamu sudah siap bukan?” Lia mengalihkan topiknya. Aku mengangguk tipis. Bersamaan dengan aku selesai merapikan pakaianku, pengeras suara di depan kantor dewan guru telah diaktifkan, memanggil para peserta lomba agar mendekat.
“Semua peserta lomba, agar mendekat ke sumber suara, untuk mengambil nomor urut tampilnya. Terima kasih.”
“Astaga, itu suara Bu Hartini. Belum apa-apa, belum mulai, beliau sudah turun tangan. Sepertinya hari ini tidak akan berakhir baik untuk kita. Ram, bagaimana ini? Eh, mana Aram?”
Celingukan Wahid mencari Aram, rupanya Aram juga sedang mengobrak-abrik tasnya sendiri. Dia tidak ikut membantuku memakai jas dan dasi. Dia mengambil sesuatu.
“Tidak perlu memikirkan sesuatu yang belum terjadi, Hid. Pokoknya hari ini, semua harapan kita, semua keyakinan kita, kita percayakan pada Azka. Nah, Az, agar kau maju ke sana tanpa beban, pakai ini.” Aram kemudian menyerahkan sebuah peci songkok warna hitam polos padaku.
“Apa ini, Ram?”
“Ini peci kesayanganku. Bersama dengan peci ini aku menitipkan keyakinan, harapan dan impianku Az. Tapi kau tak usah khawatir. Kau lakukan saja yang terbaik, sisanya biarkan takdir Tuhan yang berjalan. Semoga kau bisa menang dibantu dengan keyakinan, harapan dan impian kami semua.”