
Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI
Istirahat pertama, Mei mengumpulkan tugas agama semua murid lokal 4.
Setelah istirahat kedua, Bu Hartini, tak ada angin tak ada hujan tak ada arahan dari pemerintah, tiba-tib saja masuk ke lokal kami. Melihat buku-buku bertumpuk yang beliau bawa, sepertinya beliau datang untuk mengisi kelas ini di luar jadwal. Berarti kelas geografi kembali jadi korban.
Beda dengan sesi kelas agama dadakan sebelumnya, sekarang Aram tidak berancang-ancang untuk pergi. Dia malah menunggu Bu Hartini duduk di kursinya dengan sangat antusias. “Taktikku mengena, beliau menjawab panggilanku,” ujarnya.
“Panggilan? Panggilan apa Ram?” tanya Wahid, dia menguping dari belakang.
“Tidakapa-apa, Hid. Aku hanya sedang senang.”
“Lagakmu seperti orang yang baru main jailangkung dan berhasil memanggil roh untuk melakukan pertunjukan.”
“Sebentar lagi kau akan menyaksikan pertunjukan yang tak kalah serunya dengan permainan jailangkung, Hid. Kau tunggu saja.”
Wahid makin bingung. Sebab, dia tidak tahu soal kertas protes Aram yang dia tulis di bukunya. Hanya aku yang tahu, dan hanya aku pula yang bisa menebak dengan tepat, apa yang akan terjadi setelah ini. Perselisihan Aram dengan Bu Hartini akan segera pecah.
Bu Hartini duduk dengan tenang di meja guru. Diambil beliau buku tulis di bagian paling atas tumpukan buku yang tadi beliau bawa. Murid-murid semua menantikan dengan harap-harap cemas, apa yang akan terjadi selanjutnya.
SREKKKKK!
Tiba-tiba, terdengar bunyi kertas dirobek. Bu Hartini baru saja merobek sesuatu. Diambil beliau robekan kertas itu, lalu beliau berdiri, menunjukkan kertas yang telah beliau robek.
“Siapa yang sudah menulis ini? Ayo mengaku. Jangan mengelak, jangan membuat urusan ini menjadi lebih ribet.”
KAMI MERASA DICURANGI!
Tulisan itu kini bisa dibaca oleh seisi kelas. Gaya tulisan tangan itu sangat khas, sehingga semua orang segera mengenalinya. Itu adalah tulisan Aram. Kini tatapan harap-harap cemas dari seisi kelas beralih pada Aram.
Sebaliknya, Aram tenang-tenang saja. Dia dengan entengnya mengangkat tangan.
“Saya Bu. Saya yang menulis itu. Baru saja.”
“Apa maksud kamu menulis ini?” Bu Hartini memasang wajah galak.
“Maksud saya sudah jelas Bu. Kami merasa dicurangi dalam lomba pidato di Fun Class.” Aram menjawab dengan tenang. Pintar sekali dia mencomot kata kami, bukan kata saya.