
Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI
Setelah berjalan sekitar 10 meter jaraknya dari ruangan lokal 4, Aram tertawa keras-keras. Tepatnya, dia menertawakan aku yang sedang memasang wajah masam. “Selamat Az, selamat bergabung di klub orang-orang yang dianggap badung oleh Bu Hartini.”
“Ini sama sekali tidak lucu, Ram!” aku melotot. Kesal sekali aku kawan. Satu, aku kesal dengan Bu Hartini yang mengeluarkanku dari kelas beliau padahal aku tak salah apa-apa. Makin bertambah kesalku sebab Aram kini seenaknya saja menertawakanku, padahal ini semua kesalahannya.
“Tidak usah terlalu diambil hati, Az. Ini semua cuma dunia, hanya sementara saja. Bawa saja minum kopi, selesai masalah.”
“Ini tidak semudah kelihatannya, Ram. Kini reputasiku sudah tercoreng di depan Bu Hartini.”
“Memangnya kenapa kalau reputasi kau tercoreng?”
“Nanti aku bisa bermasalah dalam mendapat nilai dari Bu Hartini.”
“Kau tenang saja Az. Nilai itu tidak ada sangkut pautnya dengan reputasi. Kalau sistem sekolah kita memang bersih, maka nilaimu hanya bisa dipengaruhi satu hal, kecerdasan dan kesungguhanmu dalam belajar.”
“Itu dua hal, Ram.”
“Oh iya, maaf. Maksudku dua.”
Tidak heran Aram tidak pernah masuk di kelas matematika Pak Farhan.
“Tetap saja Ram. Aku ini murid baik-baik. Aku ingin belajar dan beraktivitas di Quart School ini sebagai murid baik-baik. Aku tidak ingin terkena masalah.”
“Pola pikir kau itu salah, Az. Camkan ini ya, selama Bu Hartini masih mengajar, masih ada di sekolah ini, maka cepat atau lambat, kau akan terkena masalah, Az.” Aram tertawa lagi.
Karena sudah dikeluarkan dan tidak mungkin bisa kembali lagi ke kelas, mau tidak mau aku mengekor langkah Aram ke kantin. Sepertinya kami akan menghabiskan waktu di kedai kopi Paman Pirates sampai jam pulang sekolah. Oh ya kawan, bicara soal Paman Pirates, sepertinya tanpa sadar, kini aku juga sudah mulai ketagihan sensasi minum kopi di sana.
“Kau tahu Az, nyaris saja tadi Bu Hartini membongkar borok beliau sendiri.” Aram kembali nyelutuk saat kami sudah menginjak area kantin Quart School yang luas.
“Maksudmu Ram?”
“Maksudku, tadi beliau nyaris saja blunder.”
“Dimana blunder itu? Kok aku tidak sadar?”
“Kau masih ingat kertas nilai yang beliau tunjukkan? Masih ingat berapa saja nilai-nilai yang kau dan Nadia dapat?”