Bukan Badboy Penyelamat Sekolah

Muhammad Azhar
Chapter #27

Mozaik 27 : Kopi untuk Menjahili


Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI

Akhirnya setelah cek-cok nan panas, dan uang sakuku lunas habis di meja kasir Kafe Modern, kami sampai di kedai kopi Paman Pirates. Aram tidak langsung memesan, dia duduk dulu dan mengipas-ngipaskan topi miliknya. Aku mengikuti, duduk di sebelahnya. 

“Seharusnya kau tidak usah melakukan hal tadi Az. Kedua orang itu, merepotkan kita saja.” 

“Bukannya begitu, Ram. Aku cuma tidak mau masalah bertambah panjang. Kalau rekaman itu sampai ke telinga Bu Hartini, reputasiku makin buruk jadinya.”

“Kau ini Az, dari tadi yang dibicarakan reputasi saja terus tak habis-habis. Cemas sekali kau dengan reputasi kau itu. Dengar ya dan ingat ini baik-baik. Reputasimu di hadapan Nadia dan Okta justru menurun dengan ini Az. Kini mereka bisa dengan mudah menginjak-injak harga diri kau.”

Sekarang Aram bicara reputasi?

Aku tak ingin memperpanjang debat dengan Aram, karena aku sudah letih berdebat di hari yang panas ini. Jadilah aku diam saja. 

“Ya sudah, kita minum dulu Az. Secangkir kopi akan membuat mood kita menjadi lebih baik.”

“Kau saja yang minum, Ram. Aku sudah kehabisan uang.”

“Oh tenang saja kau Az. Temanmu Aram ada di sini. Biar kutraktir kau. Asal kau mau meminumnya. Bagaimana?”

“Ya sudah deh. Kalau tak kau campurkan garam ke dalam kopi itu, aku mau-mau saja.”

Tiba-tiba Aram tercenung. Ekspresinya sekarang mirip seperti orang yang sudah pergi ke pasar, tapi baru teringat kompor di rumah tadi lupa mematikan. Tiba-tiba saja kemudian dia terloncat. Berteriak-teriak pada Paman Pirates.

“Paman punya garam?”

“Ada Ram.”

“Bagus, kalau begitu buatkan untukku, dua gelas kopi hitam, gulanya seperti biasa, lalu buatkan lagi dua cangkir white coffe, dan bawakan garamnya kemari, Paman.”

“Untuk apa garamnya Ram?” tanyaku.

“Sudah Az, kau tidak usah banyak tanya. Cepat ya paman.”

“Okeh.” Paman Pirates angkat jempol. 

Yang lebih dulu jadi adalah white coffe dua cangkir. Aram sekali lagi minta garamnya cepat dibawakan kepadanya, sementara dua cangkir kopi hitam itu bisa menunggu. 

“Kau tahu minuman kesukaan Nadia dan Okta Az?” tanya Aram begitu dua cangkir white coffe itu terhidang di hadapan kami. Tentu saja white coffe yang sedang kubicarakan ini adalah white coffe kelas terbawah yang banyak dijual sachet-an di pasar tradisional. 

“White coffe?”

“Bukan, mereka suka minum Moccachino.”

Lihat selengkapnya