
Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI
Hari ini aku pergi ke kantin, sendirian. Semua lantaran Aram dan Wahid lagi-lagi meninggalkanku yang kebelet pergi ke kamar mandi. Namun kali ini tak apalah, aku sudah tahu mereka mau kemana. Kedai Kopi Paman Pirates sudah resmi jadi tempat kami nongkrong.
Normalnya kawan, kalau mau pergi ke kedai Paman Pirates, dari pintu masuk kantin ini, aku harus belok kiri, pergi ke jalur belakang, lalu lurus saja menyusuri kawasan kantin paling sepi, sampai mentok di ujung. Di situkah Kedai Paman Pirates? Oh tidak, di situ tempat tambal ban. Kau tak percaya di Quart School ada tempat tambal ban? Harus kubilang apa lagi kawan agar kau percaya?
Aku seharusnya belok kiri, tapi nyatanya sekarang aku belok kanan. Aku menyusuri lorong tempat orang berjualan snack kecil. Di ujung jalur ini, adalah Kafe Modern, tempat nongkrong Nadia dan Okta. Kenapa aku malah belok kanan, sebab mataku yang tajam dan insting cintaku yang menggebu melihat Syifa ada di ujung sana, sedang berjalan sendirian.
Sebuah kesempatan emas!
“Hai Syif.”
“Eh Azka,” dia berbalik, agak terkejut dengan sapaanku dari belakang.
“Mau kemana Syif?”
“Mau cari makanan, Az.”
“Mau bareng-bareng? Aku juga ingin mengisi perut.”
Syifa pun dengan anggun mengangguk, “boleh, tapi aku tidak menjamin makanan yang kucari, cocok dengan seleramu.”
“Ah tidak apa kok, aku tidak punya selera tertentu soal makanan, makanan apapun, kalau enak, kugas saja,” tepisku. Padahal kawan, ada beberapa jenis makanan yang kuhindari, seperti jengkol karena baunya, daging rusa sebab itu hewan yang dilindungi, tentakel gurita sebab menelan itu bisa membuatku wassalam, serta daging babi sebab aku takut siksa neraka. Namun sepertinya tak usah kuberitahu Syifa soal itu.
Tak kusangka rupanya Syifa malah pergi ke Kafe Modern. Aku menelan ludah. Seharusnya aku mengantisipasi kemungkinan ini. Kukira tadi Syifa mau pergi ke warung gorengan 41 yang berada di sebelah kafe besar ini. Kini aku terjebak dalam kondisi serba salah.
Hendak mundur, tapi itu berarti aku menjilat ludah sendiri pada Syifa.
Hendak maju, tapi belum apa-apa, sudah ada dua pasang mata yang menatap tajam ke arahku. Mereka duduk di sebelah sana. Tiada lain, Nadia dan Okta.
Di bawah tatapan tajam mereka berdua, kuputuskan untuk tetap berjalan mengikuti Syifa. Syifa malah kemudian duduk di seberang Nadia dan Okta, itu membuat keadaan menjadi semakin buruk.