
Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI
Aku, Aram dan Wahid nongkrong di kedai kopi Paman Pirates untuk kesekian kalinya. Sementara aku berusaha menikmati semilir angin sawah yang datang dari arah belakang Quart School, Aram menikmati setiap teguk dari kopi hitam pekat miliknya.
“Kok kau tidak minum, Az?”
“Perutku penuh, Ram.” Aku menjawab sambil menepuk pelan perutku. Bagaimana tidak kenyang, tadi saat jam istirahat kedua, kami juga sudah nongkrong di sini, aku minum kopi segelas dan mencomot gorengan empat potong. Tak sampai setengah jam, yaitu sekarang, kami nongkrong lagi, bolos dari pelajaran PKN.
“Hei, tak asyik nongkrong di sini kalau tak pesan kopi Az. Pesan saja, urusan bayar gampang,” kata Aram.
“Kau yang bayarkan Ram?”
“Ya tidak, kan Azka bisa hutang dulu ke Paman Pirates,” sahut Aram lagi dengan wajah tak bersalah.
“Aku benar-benar kenyang, Ram. Kalau kau paksa aku minum, maka aku akan muntah.”
“Ah lemah sekali kau Az, minum kopi kok muntah, aku kemarin minum tiga gelas Bintang Merah, tak muntah tuh, tak mabuk juga.”
“Hebat sekali kau, Ram.”
“Iya, gelasnya saja yang Bintang Merah, isinya teh manis.” Aram cengengesan.
“Harusnya orang seperti kau ini dimasukkan dalam kandang di cagar budaya, Ram.” Wahid berkata, kesal karena merasa diolok-oloh oleh Aram. Namun ternyata, perkataan Wahid itu justru memicu reaksi lain di kepala Aram.
Cagar budaya, tempat penangkaran, terpencil, boikot, sepertinya begitu pola pikir Aram. Kontan dia berseru.