
Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI
Apa kelanjutan percakapan kami di kantin hari itu? Kami nyaris bertengkar, kawan.
Kau tahu, semenjak berteman dengan Aram di kelas 10 dulu, duduk sebangku, sering nongkrong ke kantin bersama, aku amat menghormati temanku yang satu itu. Aku respek dengan dia. Kalimat, keputusan dan sarannya sering kudengar, kupertimbangkan dan kuturuti. Aram adalah figur pemimpin, sedangkan aku dan juga Wahid, lebih berposisi sebagai bawahan yang siap menerima arahan darinya. Dalam banyak kondisi pula, aku amat bergantung pada pendapat Aram dalam memutuskan suatu hal.
Tapi kondisi di kantin hari itu, bukan termasuk di antaranya.
“Aram, dengarkan aku. Kali ini kau sudah berlebihan. Obsesimu untuk mengalahkan Nadia dan Okta telah meracuni pikiranmu.”
Kusinggung soal itu, Aram makin naik pitam.
“Apa kau bilang Az? Berlebihan? Kau lupa Nadia menyiram kita di kantin tempo hari? Katakan padaku, siapa yang berlebihan, Az.”
“Seandainya kalian bertemu lalu duduk berdamai, kukira semua hal berlebihan ini bisa selesai tanpa saling menyalahkan.”
“Tidak bisa! Enak saja. Aku tidak akan berdamai dengan Nadia kecuali aku sudah bisa mengalahkan dia. Sampai hari itu tiba, kita harus memboikot lokal 5 Az. Ini bentuk perjuangan.”
Aku melempar tatapan pada Wahid. Minta pembelaan. Wahid tak bergeming, Aram kian menjadi-jadi.
“Kenapa kau tiba-tiba melunak pada mereka Az? Apa jangan-jangan gadis itu sudah meracuni pikiran kau.”
“APA KATAMU!”
“Ya, bisa jadi begitu. Gadis itu sudah mencuci sebagian otak dan logika kau sehingga kau tak bisa berpikir. Jadi gadis itu adalah mata-mata yang sengaja dikirimkan Nadia untuk memecah belah kita.”
“RAM!”
“SSSTTT! Jangan katakan apa-apa Az. Aku sudah tahu semuanya. Nadia dan Okta sengaja mengirim gadis itu untuk memikat kau, menghasut kau, berlagak seolah dia gadis baik-baik, padahal gadis itu adalah mata-mata, lalu dia akan menghasut kau menjadi....”