
Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI
Kami masih duduk-duduk di stand kami di kantin. Aku, Aram dan Wahid mengobrol ngalor ngidul dengan Lia. Sementara Nasri diminta (atau tepatnya lagi dipaksa) oleh Mei menemaninya ke kantin.
“Aku senang, murid-murid yang datang ke stand kita, semuanya kembali dengan senyuman,” kata Lia.
“Apakah ada yang tidak kebagian, Lia?” tanyaku.
“Oh tentu ada, Az. Tapi kusuruh mereka yang sempat kebagian berbagi dengan teman mereka yang tidak dapat jatah. Biar semua orang bisa mencicipi. Toh ini gratis, jadi tidak ada yang rugi.”
“Strategi yang sangat bagus, Lia,” puji Aram dengan mata berbinar-binar, “lantas bagaimana tanggapan murid-murid lainnya tentang makanan kita?”
“Bisa kau lihat sendiri tadi, Ram. Stand kita adalah yang paling ramai dan paling diminati. Semua orang berebut hendak dapat satu bungkus nasi goreng.”
“Apakah ada yang sempat mengatakan soal rasanya? Apakah mereka suka?”
“Oh sudah jelas. Tadi kutanya beberapa orang yang sudah mencicipi, tapi kembali lagi. Mereka semua ketagihan dengan rasa nasi goreng kita.”
“Bagus sekali. Peluang kita memenangkan event besar dua ini semakin besar saja. Seperti yang sudah kuduga-duga, Az.”
“Kau menduga apa memangnya?”
“Bahwa bubur tidak akan pernah bisa bersaing dengan nasi.”
Aram berkata begitu sambil menunjuk ke arah stand milik lokal 5, stand yang berada tidak berapa jauh dari stand kami. Stand itu dijaga oleh Nadia, Okta dan astaga....
Syifa.