
Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI
Kawan, kini tidak ada lagi yang lebih kubenci di dunia ini melebihi Paderi Tamtama itu, kalau engkau ingin tahu. Kurang ajar sekali dia, berani merebut kesempatanku untuk jalan barengan dengan Syifa. Gara-gara dia, aku kehilangan kesempatan untuk menikmati kecantikan Syifa di hari Togut. Namun yang lebih membuatku benci lagi adalah ada kemungkinan mereka sedang menjajaki hubungan yang lebih serius.
Oh astaga, benci nian aku dengan kemungkinan itu.
Saking bencinya aku dengannya kawan, andai kata kemarin Aram hendak memukuli Paderi sampai mampus, aku tidak akan melarangnya. Biarkan saja. Paderi memang orang yang harus diberi pelajaran.
Gara-gara keterlibatan pria itu juga, peta hubunganku dengan Syifa jadi berantakan. Sekarang, entah bagaimana, aku jadi sulit menemui Syifa. Biasanya kami dengan mudahnya bertemu, sekarang, jadi sulit. Sebagian juga karena aku menghindar sih. Aku trauma, aku belum siap kalau harus melihat pemandangan mengerikan itu sekali lagi.
Satu dua hari setelah Festival, kusimpan saja sendirian semua perasaan bergumpal-gumpal itu, tapi hari ini aku tak sanggup lagi. Aku gelisah. Aku perlu membicarakannya, dan tidak ada tempat lain yang lebih cocok untuk membicarakannya, selain kepada sahabatku, Dahlia Anggraini.
“Lia, bagaimana ya kelanjutan hubunganku dengan Syifa?”
Klik, kirim. Lia membalas semenit kemudian.
“Eh kenapa kamu bertanya seperti itu?” dia malah balik bertanya.
“Kamu tidak lihat apa yang terjadi di hari Togut?”
“Apa yang harusnya kulihat? Aram menghabiskan tiga piring nasi goreng?”
“Bukan itu Lia,” aku gemas, sepertinya Lia ini pura-pura tidak tahu saja, kan dia juga berdiri di depan pintu seperti aku di hari Togut itu. Dia seharusnya melihat juga “pemandangan mengerikan” itu.