Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI
“Hei, bukankah itu gadis yang kau suka?”
Begitulah Nasri bertanya. Kami sedang menuju ke kantin, jam istirahat kedua. Aku sebenarnya malas pergi ke kantin sekarang, tapi Nasri minta ditemani membeli air mineral. Sial bagiku, di jalan, kami malah bertemu dengan Syifa. Nah pertanyaan Nasri bisa muncul lantaran aku bukannya senang malah membuang muka.
“Tidak apa-apa,” sahutku.
“Kenapa kau tidak menyapanya.”
“Tidak apa-apa,” sahutku lagi, kali ini penuh dengan penekanan.
“Kenapa kau jutek seperti itu? Apakah kalian bertengkar?”
“Haruskah kita bahas ini sekarang?”
Nasri kemudian tidak bertanya lagi. Mungkin dia sadar, lewat sahutanku yang agak meledak-ledak itu, aku tidak ingin membahas hal ini lebih jauh.
Aku memang agak sulit menjelaskannya kawan. Situasinya bagiku sangatlah rumit. Perasaan kecewa saat melihat mereka jalan berdua kemarin-kemarin itu masih terasa. Ditambah hipotesisku sendiri yang merujuk pada Syifa dan Paderi memang punya hubungan tertentu yang spesial, membuatku mengambil tindakan ekstrim.
Aku memutuskan untuk tidak mengacuhkan Syifa. Aku cueki dia. Setiap lewat di depannya, aku selalu membuang muka. Biarlah begini dulu, daripada nanti saat aku menatapnya, tiba-tiba sudah ada Paderi di sana, bisa jadi bukan? Siapa tahu Paderi ini adalah pewaris ilmu sakti dari zaman Nabi Sulaiman.
“Bagaimana jika mereka memang punya hubungan yang spesial?”
“Berhentilah menduga-duga, Az.”
Aku yang gelisah kembali mengirimi Lia chat malam ini. Aku tidak tenang, kepalaku terus disesaki dengan pertanyaan itu, dan sekarang aku juga membuat Lia tidak tenang dengan pertanyaan yang sama. Atau lebih tepatnya, membuat dia jengkel karena terlalu sering menanyakan hal yang sama.
“Tetap saja Lia. Aku merasa tidak tenang dan terus bertanya-tanya sampai aku tahu kebenarannya.”
“Memangnya jika kebenarannya adalah kata ya, apakah kamu bisa menerimanya.”