Bukan Badboy Penyelamat Sekolah

Muhammad Azhar
Chapter #57

Mozaik 57 : Hari Pembagian Raport


Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI

Singkat kata singkat cerita, Uji Test berlalu, hari pembagian raport ada di depan mata. Yaitu hari ini. 

Bukan suatu rahasia lagi kalau setiap murid menantikan hari pembagian raport. Baik itu menantikan secara penasaran, ataupun deg-degan bercampur takut bercampur ingin kencing di celana. Namun, di Quart School, selain sibuk memprediksi dirinya bakal ranking berapa, mereka juga sibuk memprediksi siapa yang bakal jadi juara di lokalnya.

“Ranking 1 dari lokal 4? Sudah pasti Nasri lah.”

“Kau yakin tidak mau menjagokan Azka?”

Kulihat dia yang ditanya kemudian menggeleng suram. “Azka memang cerdas, terutama soal matematika, tapi Nasri, dia terlalu kuat. Nasri akan tetap menggondol peringkat 1, dia unggul di semua mata pelajaran selain matematika.”

“Kecuali agama.”

“Ya, ya, kecuali itu. Tapi kurasa kali ini nilai agama kita akan beda-beda tipis saja. Soalnya Bu Hartini tidak menilai secara langsung.”

“Tentu. Kecuali tentu saja Aram. Aku cemas dia akan mendapat masalah di raport-nya gara-gara berselisih lagi dengan Bu Hartini.” Wahid bergabung dalam obrolan dengan dua gadis itu. 

“Kurasa Aram akan dimaafkan, seperti halnya tahun lalu Bu Hartini juga memaafkan Aram.”

“Aku tidak terlalu yakin,” Wahid menggeleng, suram. Tahun lalu, Aram hanya kena masalah karena dia telat mengumpulkan tugas. Seharusnya di akhir semester, kami sudah merampungkan resume 12 bab, Aram jangankan satu bab, menulis saja dia tidak ada. Bu Hartini marah sekali, sampai kukira Aram akan dikutuk jadi batu, tapi ternyata mereka berakhir damai. Tahun ini beda cerita. Mereka bertengkar sebab perkara Fun Class. Aku juga belum tahu bagaimana tanggapan Bu Hartini setelah kemenangan kami di Festival Togut. Kurasa ketidakhadiran beliau saat Uji Test, adalah sebuah jawaban dari beliau. 

“Ciye, yang wajahnya sedang tegang.”

Saat aku sedang konsentrasi mendengarkan obrolan Wahid dengan dua gadis di bangku panjang di belakang lokal kami, tiba-tiba seberkas suara mengagetkanku. Otomatislah aku menengok. Lia sudah berdiri di depanku. 

“Tidak kok, biasa saja.”

Lihat selengkapnya