
Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI
Pak Kepsek menyerahkan medali serta piala kepada gadis bernama Shiela Camalia itu. Saat piala itu dia pegang, semakin riuh sorak-sorai dan tepuk tangan semua orang mengiringinya. Murid laki-laki jauh lebih keras lagi tepuk tangannya. Segera aku menarik kesimpulan bahwa Shiela ini pasti cantik orangnya.
“Murid-murid semuanya, inilah pemenang bintang pelajar kita semester ini. Seseorang yang pantang menyerah. Seseorang mendedikasikan banyak waktu hidupnya untuk belajar. Seseorang yang cerdas bukan buatan. Selamat, Shiela Camalia. Kalau tidak salah ingat, ini adalah piala ketiga yang kamu dapatkan, benar atau betul?”
“Benar Pak,” dia mengeluarkan suara, dan saat itu seluruh riuh penonton yang tadinya berisik, mendadak hening. Bahkan alam semesta ingin mendengarkan suara Shiela Camalia itu. Ah bagaimana aku mendeskripsikannya ya, kawan. Suaranya itu terdengar halus, tegas, bertenaga. Suaranya itu terdengar berani seperti saat seorang hakim mengetuk palu dan mengatakan, bersalah. Suaranya itu terdengar santun seperti suara para SPG yang sedang menawarkan produk. Suaranya itu juga begitu bertenaga laksana suara para peserta debat di lomba debat tingkat kabupaten.
Orang ini, siapapun dia, dia sangat menarik.
Setelah selesai menyalami Shiela dan memberikan pujian, Pak Kepsek mundur. Giliran Bu Hartini yang maju. Beliau juga menyalami Shiela. Lalu beliau meraih mik.
“Saya bukan orang yang gampang memuji,” ujar beliau, kalimat itu ditujukan pada Shiela, tapi arah ucapan beliau menuju kami semua, “tapi hari ini saya kehabisan pujian untuk Shiela Camalia. Dia orang yang begitu luar biasa. Dia punya kecerdasan, kesantunan, otak dan adabnya berada di jalur yang tepat untuk memenangkan segalanya. Catat kata-kata saya ini, Shiela, saya bukan peramal, tapi saya mengira jika kamu bisa mempertahankan kemampuan kamu yang sekarang, kamu bisa meraih The Quart School Champions ketika akan lulus nanti.”
Aram langsung memasang wajah skeptis.