“Woy setop, setop!”
Pak Dahri Ariyanto yang paling awal tiba, beliau hendak memanjat pagar pembatas kantin dengan halaman belakang, tapi sepertinya beliau agak ragu-ragu.
“Pak Hadi, hentikan mereka.”
“Eh saya tidak bisa memanjat pagar ini. Kita sebaiknya memutar....”
“SETOP!”
Pak Farhan yang tak kalah tangkasnya ikut menyusul ke lokasi dan langsung melompati pagar pembatas dengan elegan. Beliau langsung melerai Aram dan Paderi yang sedang berguling-guling mencekik leher masing-masing.
Kini pergelangan tangan mereka berdua yang dipegangi erat-erat oleh Pak Farhan. Aram sempat hendak memberontak melepaskan diri, tapi Pak Farhan menghardiknya. “Diam, kalian harus mempertanggung jawabkan perbuatan kalian.”
Aku yang berdiri tak sampai lima meter dari sana, melihat semuanya, dan aku merasa kelu. Aram kini benar-benar berada dalam masalah. Berkelahi adalah sebuah perbuatan yang sangat tercela, noda hitam di peraturan Quart School. Sanksi yang paling ringan adalah turun kelas secara paksa. Kurasa Aram pun bisa merasakan besarnya ancaman hukuman yang sedang mengintainya, jadi dia pun jadi diam. Tidak berani berkata apa-apa lagi.
Pak Farhan menyeret mereka melewati pagar pembatas, kembali ke sisi kantin. Di sana Bu Hartini sudah menunggu dengan tatapan tajamnya.
“Memalukan,” aku bisa mendengar kata-kata beliau, “kalian berdua merusak reputasi sekolah ini sebagai tempat yang kondusif yang menyenangkan untuk belajar. Kalian berdua ikut saya, kita selesaikan masalah ini.”
Kata-kata Bu Hartini ini jauh lebih kuat ketimbang cekalan tangan Pak Farhan tadi. Kini Aram dan Paderi tak punya pilihan lain selain mengikuti langkah Bu Hartini. Aku diam-diam juga mengikuti mereka.
Itu artinya aku juga menyetorkan diri pada masalah. Bu Hartini dalam situasi seperti ini punya intuisi yang kuat sekali, seolah beliau punya indera keenam, beliau dengan cepat menoleh ke belakang dan mengetahui keberadaanku.
“Humadi Azka, kenapa kau berdiri di sana?”
Aku menelan ludah. Paderi ikut menoleh lalu menunjuk ke arahku.
“Dia Bu, dia juga cari masalah denganku tadi. Dia dan Aram bekerja sama.”
“Kau yang cari gara-gara lebih dulu!” Aram berseru nyaring.
“KALIAN BERTIGA IKUT SAYA KE KANTOR!” Bu Hartini berteriak lebih nyaring, bagai halilintar di siang bolong. Aku pun terpaksa mengikuti langkah mereka. Seketika beratnya ancaman sanksi yang disandang Aram dan Paderi juga terasa di pundakku.