Bukan Badboy Penyelamat Sekolah

Muhammad Azhar
Chapter #88

Mozaik 88 : Alasan Paderi Membenci Azka


Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI

Hatiku berbunga-bunga pagi ini. Baru saja aku sampai, meletakkan kendaraanku di tempat biasa di parkiran, di ujung sana, aku melihat Syifa. Dia juga baru sampai, meletakkan kendaraannya, lalu berjalan ke lokalnya. Aku bermaksud mengejarnya. Siapa tahu kami bisa mengobrol satu dua kata. Tentang siapa yang lebih dulu tercipta antara manusia atau kebodohan barangkali. Namun niatanku itu urung terjadi. 

Baru saja aku hendak berlari mengejar Syifa saat Paman Pirates berteriak memanggilku. 

“Azka, ke sini. Penting.”

Kau bisa bayangkan betapa kesalnya aku, kawan. Kesempatan memulai pagiku dengan sangat menyenangkan, dengan mengobrol dengan Syifa, harus hilang begitu saja. Tapi apa boleh buat, Paman Pirates adalah relasi yang penting juga. Kalau dia sampai marah dan mem-black list namaku dari warungnya, gawat juga. 

“Ada apa, Paman?”

“Ada pesan untukmu.”

Ha? Pesan? Bingung sekali aku. 

“Apa maksudnya pesan, Paman?”

“Iya, ini ada orang menitipkan pesan, minta agar aku menyampaikan pesan ini padamu.”

“Apa isinya, Paman?”

“Kau dimintanya datang kemari, ke kedaiku ini di jam pelajaran pertama. Katanya, dia ingin bicara denganmu.”

Aku bingung pangkat tiga. Ingin bicara? Macam penagih hutang saja. Namun aku tidak berhutang pada siapapun kecuali pada yang Maha Tinggi. 

“Siapa orangnya, Paman?” tanyaku lagi. 

“Aduh mana kenal aku.” 

“Astaga, kok serba misterius begini, Paman. Tak mau ah aku. Lagipula jam pelajaran pertama kami hari ini adalah kelas kewirausahaan. Kelasnya Pak Dahri Ariyanto. Bisa kena masalah aku kalau bolos.”

“Ayolah Azka. Orang yang menyampaikan pesan padaku ini sampai memohon-mohon loh. Dia minta aku menyampaikan pesan ini dan memastikan kau mau memenuhi pesannya. Datangi saja dulu. Siapa tahu penting.”

Urusan ini serba misterius. Aku jadi penasaran dengan siapapun orang itu. Apa jangan-jangan dia adalah Syifa? Jangan-jangan Syifa ingin mentraktir aku makan, setelah sukses mengajarinya di Mid Test kemarin. Tidak menutup kemungkinan bukan. Ah kalau begitu, aku harus mengambil kesempatan ini, aku tidak boleh membuang kesempatan makan bersama Syifa dua kali. 

“Baiklah Paman. Aku akan datang. Katakan saja pada si empunya pesan, jika aku agak terlambat, suruh dia menunggu saja. Karena aku pasti akan datang.”

“Sip Az.”

Seperti kubilang tadi, kawan. Jam pertama lokal 4 hari ini diisi oleh Pak Dahri Ariyanto. Beliau adalah tipikal guru yang konservatif. Sama seperti Bu Hartini, beliau cenderung tak suka ada murid yang bolos-bolos sembarangan. Tak heran jika ada voting atau diskusi, beliau ini selalu berpihak pada Bu Hartini. Nah sekarang beliau yang terhormat inilah yang harus aku lewati agar bisa ke kantin bertemu Syifa. 

“Kau mau bolos di pelajaran Pak Dahri? Itu gila Az. Kau cari-cari masalah.” Wahid menyemprotku dengan teriakan saat aku menceritakan keinginanku. 

“Aku harus melakukannya Hid. Aku harus melakukannya. Gadis itu menungguku di kantin.”

Lihat selengkapnya