
Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI
Kedua orang itu saling bertatapan dengan pandangan tak senang. Aram dengan Paderi.
“Kau tak usah ikut campur, Aram.” Paderi mendengus. Bagai seekor banteng.
“Kalau kau ingin melanjutkan perkelahian kita tempo hari, aku dengan senang hati meladeni kau.”
PLAK!
PLAK!
Paderi langsung bergerak, tangannya terbuka hendak menampar Aram, tapi Aram dengan gesit menangkisnya kembali. Gerakan Aram dua kali lebih cepat. Wajar, dia pesilat, dia membutuhkan kecepatan dalam pertarungan.
“Hanya segini kemampuan kau heh. Menyerang musuh itu seharusnya seperti ini.”
BUKKKK!
BUKKK!
BUKKKKK!
BRAK!
Aram memukul, lalu memiting, lalu membanting lalu Paderi berteriak kesakitan. Dia berusaha berdiri kembali sambil memegangi bagian bokongnya yang sakit terbentur tanah bersemen kedai Paman Pirates.
“Kau jangan sombong ya, Aram. Kalau kuadukan kejadian ini ke Bu Hartini, kau bisa dikeluarkan dari sekolah, benar-benar dikeluarkan kali ini.”
“Astaga, mirip sekali seperti Nadia dan Okta. Senjata terakhirnya pasti mengadu-ngadu. Heh, aku tidak peduli.”
“Secara teknis,” serobot Wahid, “kau yang bisa kena hukuman, Pad. Kau yang memulai ini semua. Kau yang mengundang Azka. Bahkan kau tadi yang memukul Aram lebih dulu. Aram bisa beralasan dia membela diri. Bapak Wakasek Kurikulum yang terhormat akan menerima pembelaan itu.”
“Lancar sekali kau mengarang cerita ya.”
“Kami tidak mengarang, kami punya persiapan. Bahkan hape Wahid sampai sekarang masih menyala, merekam percakapan kita. Kami datang ke kantin ini tidak gegabah, Paderi Tamtama,” ucap Aram. Jelas sekali ada nada kebanggaan di dalam kalimatnya itu.