Bukan Celana Kolor Biasa

Setiyo Bardono
Chapter #3

Peron #3 : Debar Harapan

Sesampainya di Stasiun Depok Baru, Panji langsung menuju loket untuk mengisi saldo KMT atau Kartu Multi Trip. KMT adalah kartu sakti untuk membuka pintu masuk dan keluar atau bahasa kerennya gate in dan gate out di setiap stasiun se-Jabodetabek. Selain KMT, penumpang bisa menggunakan kartu bank atau tiket harian, tapi tidak bisa pakai kartu nama apalagi Kartu Keluarga.

Setelah mengantre, Panji menyodorkan KMT ke lubang loket. Gadis penjaga loket tersenyum sopan. “Dua puluh ribu saja ya Mbak Jelita,” kata Panji sambil menyodorkan uang lima puluh ribu rupiah.

“Kok tahu nama saya,” kata gadis penjaga loket. Panji menunjuk papan nama yang tertempel di baju seragam gadis itu. Dari balik kaca, gadis penjaga loket tersenyum, jemari tangannya lincah memencet tombol di mesin pengisi saldo.

O, iya. Nggak sekalian lima puluh ribu?”

“Dua puluh ribu aja, biar sering ketemu Mbak Jelita. Kalau mau nambahin, tambahin saja saldo senyuman biar saya semangat menempuh perjalanan.”

Cepetan Mas, pagi-pagi sudah modus aja,” kata laki-laki yang berdiri di belakangnya.

Panji menatap ke belakang, ternyata antrian orang sudah mengular. Paijo cengar-cengir, menerima KMT, kertas struk, dan uang kembalian yang disodorkan Jelita. Sebelum berlalu, Panji sempat melemparkan senyuman ke gadis penjaga loket.

Saat Panji berjalan menuju pintu masuk, tiba-tiba ada tangan yang menepuk pundaknya. Panji refleks menepis tangan itu. Ia teringat pesan ibunya untuk hati-hati jika ada yang tiba-tiba menepuk pundak. Takutnya, ada orang yang berniat menculik atau menghipnotisnya.

“Maaf Mas, helmnya,” kata lelaki yang memakai jaket ojek online. Panji langsung teringat kalau lelaki itu, Bang Sujarwo, tukang ojek online yang tadi mengantarnya ke Stasiun Depok Baru.

Panji memegang kepalanya, ternyata ia masih mengenakan helm. “O iya lupa. Kok nggak ngingetin dari tadi sih Bang.”

“Iya saya juga lupa. Tadi dah sempat jalan, terus balik lagi jadinya.”

Panji melepaskan kepala dari helmnya, eh helm dari kepalanya dan menyerahkannya ke Bang Sujarwo. “Mungkin helmnya harus dipasang remote control Bang biar tidak terbawa penumpang.”

Wah ide bagus itu, Mas. Jangan lupa kasih bintang lima ya.”

“Siap Bang. Bintang tujuh juga saya kasih.”

Sip, tararengkyu.”

Panji berjalan menuju puluhan gate yang berjajar di lorong menuju peron stasiun Depok Baru. Panji menyentuhkan kartu di gate in. Setelah lampu indikator menyala hijau, Panji mendorong palang besi. Dengan KMT, sekali sentuh terbuka pintu hatimu eh, pintu stasiunmu.  

Sesampainya di peron tiga Stasiun Depok Baru, Panji harus turun dan menyusuri terowongan menuju peron satu untuk menunggu KRL tujuan Jakarta Kota. Panji bergabung dengan tubuh-tubuh yang berjalan tergesa mengejar kereta kemudian memenuhi peron satu.

Aroma kopi dari arah toko roti menyergap hidung dan menggelitik perutnya. Untung saja sebelum ke stasiun, tangki perutnya sudah penuh terisi nasi uduk. Sambil menunggu kereta datang, Panji mengamati vending machine yang nongkrong di dekat peron. Isinya aneka minuman kemasan bermacam merek.

Menurut cerita orang-orang, sewaktu zaman masih ada KRL Ekonomi belum ada pemandangan vending machine. Peron Stasiun Depok Baru dipenuhi lapak-lapak pedagang kaki lima yang menjual aneka barang dari makanan/minuman, buah-buahan, pulsa, kursi lipat, poster, kalender, dan lain-lain. Keberadaan lapak pedagang kaki lima membuat ruang tunggu penumpang menjadi sempit. Namun sekarang peron-peron stasiun se-Jabodetabek sudah bersih lapak-lapak pedagang kaki lima.

“Coba ada lontong dan gorengan di vending machine, pasti laris manis,” pikir Panji. Penumpang bisa memasukkan uang kertas terus memencet tombol, mesin akan berbunyi krek-krek, dan mengeluarkan lontong atau bala-bala. Di era Revolusi Industri 4.0, inovasi teknologi seharusnya bisa bersanding mesra dengan kuliner lokal, misalnya vending machine yang bisa meracik pecel dengan sambal kacang dan potongan gorengan.

Panji menatap papan petunjuk keberangkatan KRL. Tak lama lagi KRL tujuan Jakarta Kota akan datang dari arah Stasiun Depok. Memang di wilayah Kota Depok ada Stasiun Depok Baru yang sering disingkat Stadebar, dan Stasiun Depok atau lebih dikenal dengan nama Stasiun Depok Lama yang disingkat Stadela.

Menurut cerita ayahnya yang sudah menjadi belasan tahun menjadi roker, sebutan untuk pengguna kereta, dulu belum ada papan petunjuk keberadaan KRL. Penumpang hanya mengandalkan pengumuman yang disampaikan tukang halo-halo. Penumpang kadang mengandalkan isyarat dari kabel listrik aliran atas, jika bergoyang kencang berarti KRL Ekonomi sudah dekat. Kalau orang dari suku-suku purba mungkin akan menempelkan telinga di rel kereta untuk mendeteksi keberadaan kereta.

Karena KRL tak lama lagi akan merapat di peron satu, Panji segera memindahkan tas rangsel ke bagian depan. Sesuai petunjuk para roker, inilah cara yang aman untuk menghindari tangan-tangan tak bertanggung jawab. Panji mendekap erat tas rangselnya, di dalamnya ada kotak bekal milik Nuraini yang harus dijaga. Jika sampai hilang atau tertinggal bisa terjadi perang cyber eh perang dunia kelima.

Kalau rombongan superhero Kura-Kura Ninja naik kereta, mereka mungkin juga akan membalikkan tempurung dari punggung ke bagian dada. Cuma sebelum masuk stasiun, rombongan Kura-Kura Ninja pasti sudah diminta oleh petugas keamanan untuk meninggalkan sejatanya. Maklum di kereta ada larangan tidak boleh membawa senjata tajam.

Tapi petugas keamanan tidak mungkin menyita lidah penumpang yang mau masuk stasiun kereta, walaupun pepatah mengatakan: lidah lebih tajam dari pedang. Tentu saja itu semacam kiasan agar kita berhati-hati dalam berkata agar tak menyakiti atau merugikan orang lain, sebab ada istilah: mulutmu harimaumu.

Lihat selengkapnya