Bukan Celana Kolor Biasa

Setiyo Bardono
Chapter #4

Peron #4 : Tas yang Ditukar

Peristiwa tas yang ditukar membawa Panji ke ruang keamanan Stasiun Manggarai. Sungguh keterlaluan: tas berisi berkas lamaran, dompet, dan kotak bekal cantik ditukar dengan tas jelek jamuran berisi majalah bekas. Jika dibuat sinetron, peristiwa tas yang ditukar mungkin akan melengkapi judul-judul sinetron: Jodoh yang Tertukar, Cinta yang Tertukar, atau Puteri yang Ditukar. Kejadian itu membuat Panji mendadak lemas.

Saat itu ingin sekali Panji berlari ke kabin masinis, memberitahu petugas untuk segera memberi pengumuman. “Perhatian kepada seluruh penumpang KRL, telah hilang satu buah tas rangsel hitam dengan pemilik atas nama Panji Wicaksono. Bagi yang mengambil tas tersebut harap segera mengembalikan kepada pemilik sah.”

Ah rasanya pengumuman seperti itu terlalu formal. “Perhatian kepada seluruh penumpang KRL, telah hilang satu buah tas rangsel hitam milik penumpang ganteng bernama Panji Wicaksono. Bagi yang menemukan tas tersebut, jika laki-laki akan dijadikan saudara, jika gadis cantik akan dijadikan pacar.”

Ya Allah, mengapa hamba harus mengalami peristiwa seperti ini. Mau melamar kerja harus kehilangan berkas lamaran kerja. Rasanya seperti seorang laki-laki mau melamar gadis pujaan hatinya tapi kehilangan cincin kawin dan seperangkat alat salat.

Saat Panji sedang terduduk lemas, seorang Walka atau petugas pengawalan kereta lewat. Panji membaca nama yang tertera di seragam Walka: Bordes Santoso. Gagah sekali namanya. Seorang penumpang menceritakan kronologis peristiwa tas rangsel Panji yang hilang. Pelakunya menurut para roker disebut begal bagasi. Panji hanya mendengar sambil terduduk lemas. Mukanya pucat seperti habis melihat kuntilanak gelantungan di persambungan kereta.

Saat kereta turun di Stasiun Manggarai, Panji dengan gontai mengikuti langkah Walka Bordes Santoso menuju ruang keamanan. Kepala Keamanan menyuguhi teh manis manja eh hangat dan sepiring gorengan untuk memulihkan kondisi. Teh manis hangat memang sering dipakai untuk pertolongan pertama pada berbagai masalah. Setelah minum teh hangat, perlahan kesadaran Panji pulih.

Seorang petugas keamanan lainnya menyodorkan minyak angin roll on. Panji mengoleskan minyak angin itu ke bagian pelipis dan leher. Seketika ia teringat ibunya yang suka mengoleskan minyak angin jika sedang tidak enak badan. Biasanya ditambah tempelan koyo di bagian pelipis jika sakit kepala. Putih lebar seperti layar tancap, kata ibu.

Sambil mengoles minyak angin, Panji mendengarkan Walka Bordes Santoso menceritakan kronologis hilangnya tas rangsel milik Panji kepada Kepala Keamanan. Petugas lainnya sibuk mengetik, sepertinya untuk laporan. Kepala Keamanan mengkonfirmasi pada Panji isi tas yang hilang.

“Berkas lamaran, dompet berisi KTP dan uang tunai 100 ribu rupiah,” kata Panji.

“O iya, ada lagi, kotak bekal berwana pink merek Tupperware, isinya nasi goreng buatan Nuraini,” tambah Panji.

“Nuraini itu siapa?” tanya Kepala Keamanan.

“Teman dekat pak. Rumahnya juga dekat, ibarat kata lima langkah dari rumah…”

“… Tak perlu kirim surat, SMS juga nggak usah. Kalau rindu bertemu, tinggal nonggol depan pintu, tangan tinggal melambai sambil bilang: Hello, Sayang,” petugas yang asyik mengetik tiba-tiba berdendang lirih menyambung kata-kata Panji.

“Waduh, ini kok malah nyanyi dangdut Pacar Lima Langkah to,” kata Kepala Keamanan.

“O iya, kami sama-sama lulusan sekolah SMA Putera Bangsa, cuma beda jurusan tapi satu hati satu tujuan,” sambung Panji.

Petugas yang sedang mengetik berbisik pada Walka Bordes Santoso, “Gawat, Tupperware-nya hilang, bisa perang dunia kedua.”

“Baik hati sekali pacarmu itu, saya saja tidak pernah dibawain bekal oleh istri saya. Padahal ingin juga makan masakan istri di kantor, jadinya nggak perlu ke Warteg. Eh, kok saya malah curhat ya. Jarang lho ada gadis sebaik Nuraini,” kata Kepala Keamanan.

“Yang bagian ini perlu diketik sebagai laporan nggak Pak?” kata petugas sambil menunjuk layar laptop.

“Ya, nggak usah.”

Setelah menanyakan data-data Panji, Kepala Keamanan mengatakan bahwa peristiwa tas Panji yang hilang sudah diinformasikan kepada seluruh petugas keamanan di seluruh stasiun dan di dalam KRL. Jika ada informasi lebih lanjut, Panji akan dihubungi petugas.

“Sementara tas berisi majalah bekas kami amankan untuk barang bukti. Sudah beberapa kali terjadi kejahatan dengan modus penukaran tas di atas KRL. Sebagai petugas keamanan kami mohon maaf pada Mas Panji. Kami sudah meningkatkan keamanan di stasiun dan dalam kereta. Kami berharap penumpang juga hati-hati dan menjaga barang bawaan,” kata Kepala Keamanan.

--- oOo ---

Panji duduk termenung di peron lima Stasiun Manggarai. Ia mengamati lalu lalang penumpang sambil merenungi nasib sial yang menimpa hari ini. Panji berencana kembali pulang ke rumah, sebab tak mungkin melamar kerja tanpa membawa berkas lamaran. Untung saja di saku bajunya masih ada uang tiga puluh ribu, sisa kembalian sewaktu mengisi saldo KMT. Sebenarnya Kepala Keamanan berniat memberinya sejumlah uang untuk ongkos perjalanan pulang, tapi Panji menolaknya.

Panji mengamati ponsel yang masih aman karena selama di KRL selalu berada di genggaman tangannya. Rasanya ia ingin menulis status mengenai kehilangan tas di akun medsosnya. Tapi Panji takut berita ini menjadi viral di Kampung Telaga dan membuat ibunya sedih. Lebih mengerikan lagi, Nuraini pasti membaca statusnya.

Panji belum siap jika Nuraini mengajukan pertanyaan, “Kotak bekal milikku tidak ikut hilang kan?” Panji tidak bisa membayangkan kemarahan Nuraini, “Kamu bagaimana sih, jaga Tupperware saja tidak bisa, bagaimana menjaga perasaanku.”

Panji merasa urusan kotak bekal akan berbuntut panjang. Nuraini pasti juga akan merasa takut kalau nanti ditanya ibunya. “Kotak bekal Tupperware-nya hilang waktu dipinjam Panji Ma. ”Tahu sendiri bagaimana ekspresi emak-emak jika mendengar kata “Tupperware-nya hilang.” Bisa-bisa nama Nuraini dicoret dari Kartu Keluarga, sementara nama Panji dicoret dari daftar calon mantu. Bisa juga, Nuraini disuruh ngepel rumah tiap pagi dan sore selama beberapa sebulan, sementara Panji dilarang ngapel selama tujuh purnama.

Panji mengacak-acak rambutnya, rasanya ngeri membayangkan apa yang akan terjadi jika Nuraini dan ibunya tahu kalau kotak bekal Tupperware itu hilang. Beberapa waktu sebelumnya, Panji pernah membaca berita di media massa online. Judulnya ngeri-ngeri sedap, “Tupperware Ketinggalan, Ayah Takut Kehilangan Nyawa.”

Jika diposting di media sosial, bisa-bisa kisahnya juga viral, “Tupperware Hilang di Kereta, Pacar Takut Diputusin Pacarnya.” Panji mencoba berselancar di dunia, mencari harga kotak bekal Tupperware yang sama dengan milik Nuraini. Di sebuah toko online, ia menemukan harganya ratusan ribu. Jika harus mengganti kotak bekal milik Nuraini, tentu saja tidak bisa dalam waktu dekat. Benar-benar gawat, pikirnya.

Mata Panji terpaku pada tulisan yang menempel di dinding peron: Mintalah bantuan petugas apabila akan mengambil barang anda yang terjatuh dari peron tinggi. Untuk hati yang sedang gundah gulana atau patah hati, mungkin tulisan itu bisa dimodifikasi: Mintalah bantuan petugas jika akan mengambil hati anda yang terjatuh dari mimpi yang terlalu tinggi.

Untuk saat ini, sepertinya ia hanya bisa berdoa dan memasrahkan diri pada Allah SWT agar diberikan jalan terbaik. Semoga tasnya bisa kembali, setidaknya kotak bekal merek Tupperware milik Nuraini.

--- oOo ---

“Sepertinya kamu lagi banyak masalah, anak muda.”

Seorang lelaki berambut kelimis menyapanya. Panji tidak tahu sudah berapa lama lelaki itu duduk disampingnya. Dari cara berpakaian, sepertinya pegawai kantoran. Panji menerka umur lelaki itu sekitar empat puluh tahun. Tetapi tidak tahu juga, sebab saat ini ada beberapa orang terlihat berwajah boros, lebih tua dari umurnya, mungkin karena beratnya tekanan hidup atau efek pemanasan global.

Lihat selengkapnya