Sampai di rumah, Panji langsung duduk di kursi yang setia menjaga beranda. Panji mencopot sepatu sambil mengamati anak-anak yang bermain di tanah kosong dekat rumah orangtuanya. Mereka sedang bermain ular naga. Dua anak bertugas menjadi penjaga, berdiri berhadapan dengan tangan saling menggenggam ke atas membentuk sebuah terowongan.
Anak-anak lainnya membentuk barisan panjang seperti ular naga, berjalan memutar melewati terowongan. Anak-anak itu bernyanyi riang: “Ular naga panjangnya bukan kepalang, menjalar-jalar selalu kian kemari, umpan yang lezat itulah yang dicari, ini dianya yang terbelakang.”
Permainan mereka terusik saat rombongan anak-anak yang memakai kaos dan celana kolor pendek berlarian mengejar layang-layang putus. Anak laki-laki yang sedang bermain ular naga di tanah kosong tak mau ketinggalan. Mereka ikut bergabung mengejar layang-layang, diiringi teriakan anak-anak perempuan yang kesal karena permainan ular naga jadi berantakan.
Di dunia kanak-kanak, mengejar layang-layang putus memang sangat menantang, terutama bila berhasil mendapatkannya. Memang harga layang-layang tak seberapa, hanya dua ribu rupiah, tapi entah mengapa mendapatkan layangan putus menjadi kebanggaan tersendiri. Padahal layang-layang yang didapat mungkin tak lagi utuh, robek di sana-sini.
Layang-layang, ternyata tak hanya lekat di kehidupan anak-anak. Saat remaja ada julukan generasi alay singkatan dari anak layangan yang identik dengan anak berambut merah karena kebanyakan main layangan, kulitnya dekil, dan bau matahari. Tapi remaja yang tidak pernah main layangan pun bisa menjadi alay karena tingkah dan gaya bicaranya.
Mungkin anak layangan dimaksudkan untuk menyebut orang yang suka mengikuti arah angin atau mengikuti tren. Seperti filosofi dari layang-layang itu sendiri. Untuk bisa menerbangkan layangan, kita harus pandai-pandai menyiasati pergerakan angin, tahu kapan menarik dan mengulur benang layangan. Istilah kaum sosialita: tarik ulur cantik.
Sebutan alay juga disematkan pada orang yang suka menulis status di akun media sosial dengan tulisan singkat, menggabungkan huruf dan angka hingga menyakitkan mata. Misalnya: 4ku 121ndu pd cwk p3ron t1g4. Karena itu, ada yang menyebut kalau alay berasal dari singkatan anak lebay, anak yang berlebihan, norak, dan tak tahu malu.
Panji tak tahu pasti mana yang benar tentang asal-usul kata alay. Ah, biarkanlah generasi alay sibuk dengan ke-alay-an. Panji bersyukur karena anak-anak di Kampung Telaga masih bisa merasakan pengalaman mengejar layang-layang. Di Kampung Telaga juga masih ada tanah lapang dan tanah kosong untuk bermain engklek, lompat tali, petak umpet, lempar sandal, sepeda, dan lain-lain. Jadinya, anak-anak di Kampung Telaga tak hanya asyik bermain game atau mantengin konten Youtube atau TikTok di tablet atau telepon genggam.
Mungkin suatu ketika saat semua tanah disesaki bangunan, anak-anak tak punya tempat untuk bermain. Perubahan zaman bergerak begitu cepat. Di media massa Panji membaca bahwa kita sudah memasuki era Industri 4.0 bahkan ada negara yang mulai merambah era Society 5.0, sementara era Industri 1.0 sampai Industri 3.0 saja Panji belum pernah dengar.
Saat kecil, Panji masih bisa melihat banyak rumpun bambu di Kampung Telaga, tapi sekarang sudah menghilang. Begitu juga dengan empang tempat mancing lindung atau belut, perlahan berubah menjadi perumahan walaupun cuma 6 atau 7 bangunan.
Dulu, masih ada keluarga di Kampung Telaga yang memanfaatkan pekarangan untuk memelihara kambing atau ayam. Sekarang sudah tidak ada yang memelihara kambing. Pekarangan kosong berubah jadi rumah-rumah baru atau petak kontrakan.
Suatu ketika mungkin anak-anak tidak lagi bisa melihat ayam berkeliaran. Mereka hanya bisa melihat ayam saat pergi ke kampung, di internet atau layar televisi. Bentuk fisik ayam hanya bisa mereka lihat dalam bentuk fried chicken, ayam bakar, atau ayam geprek.
Anak-anak yang mengejar layangan terlihat kembali dengan tangan kosong. Rupanya perjuangan mengejar layang-layang putus tidak membuahkan hasil. Tak ada raut kekecewaan di wajah. Mereka bergabung kembali dengan anak-anak perempuan yang bermain di kebun kosong.
Seketika Panji teringat saat mengejar cinta Nuraini. Saat itu ada beberapa cowok yang naksir Nuraini. Saingan terberat Panji adalah Rian, teman satu sekolah di SMA Putera Bangsa. Tongkrongannya motor keren, sementara Panji hanya naik angkot kalau ke sekolah. Panji dan Rian saling adu strategi agar bisa merebut perhatian Nuraini.
Karena tinggal tak jauh dari rumah Nuraini, Panji punya lebih banyak kesempatan daripada Rian yang tinggal di Kampung Rawa. Singkat kata, keduanya menjadi dekat hingga Nuraini menerima cinta Panji. Tapi Rian nampaknya belum menyerah hingga saat ini.
Sekarang, bukan Rian yang bisa mengancam hubungannya dengan Nuraini, tetapi kotak bekal yang hilang. Ah, semoga ini bukan hanya bayang-bayang ketakutan di benaknya. Panji berharap Nuraini tidak marah dan bisa memahami musibah tas yang ditukar.
“Lho, kamu sudah pulang to,” kata ibunya. Pintu rumah terbuka, Ibu Panji berdiri sambil memegang sapu ijuk. Panji bangkit dan mencium tangan ibunya.
“Ampun Bu, Panji memang salah. Jangan pukul Panji.”
“Yang mau mukul kamu siapa to. Ibu kan lagi nyapu lantai. Ada apa to.”
Panji pun menceritakan musibah yang menimpanya. Ibu Panji dengan sabar mendengarkan kronologi tas yang ditukar di kereta. Mengenai kotak bekal milik Nuraini terpaksa Panji tidak ceritakan. Ia takut ibunya jadi merasa nggak enak dengan Ibu Nuraini, sesama satu komunitas arisan tingkat RT.
“Ya sudah, mungkin ini ujian bagi kamu. Surat lamaran kan bisa dibikin lagi. Sekarang kamu mandi dulu, biar kotoran yang nempel di baju dan badan hilang.”
Jawaban seorang ibu memang selalu menenangkan bagi anaknya. Berbeda dengan tanggapan Puteri, adiknya yang diam-diam menguping dari balik pintu.
“Kok tasnya bisa ditukar gitu sih. Pasti Kak Panji kebanyakan godain dede-dede gemez di kereta jadi nggak tahu kalau tasnya ditukar.”
Sementara dari arah kebun kosong terdengar teriakan ibu-ibu yang mencari anaknya, “Sudah sore, pulang semua. Mandi, terus ngaji di musholla.”
--- oOo ---
Pagi itu, peron Stasiun Depok dipenuhi orang-orang yang menunggu KRL Commuterline. Setiap kali ada KRL dari arah stasiun Citayam yang berhenti, mereka menyerbu pintu-pintu kereta yang terbuka. Harapannya bisa terangkut, meskipun di dalam KRL sudah penuh penumpang dari Stasiun Bogor hingga Citayam.
Begitu KRL berlalu, orang-orang yang menunggu KRL berkurang. Tapi tak lama, peron kembali penuh oleh calon penumpang yang berdatangan. Di jam-jam sibuk, orang-orang di peron seperti amuba yang membelah diri. Tiba-tiba peron penuh kembali dengan calon penumpang KRL.
Jika ekonom kebangsaan Inggris, Robert Malthus masih hidup dan nongkrong di stasiun Depok, mungkin akan lahir teori baru bahwa pertumbuhan calon penumpang di peron seperti deret ukur, sementara kedatangan kereta seperti deret hitung. Tapi di sela kesulitan pasti ada jalan, begitu juga di sela kepadatan penumpang kereta ada saja sela untuk masuk ke dalamnya.
Bagi penumpang KRL, Stasiun Depok terbilang istimewa. Di stasiun ini selain menunggu KRL dari arah Stasiun Citayam, calon penumpang bisa naik KRL yang memulai perjalanan dari Stasiun Depok. Para roker atau rombongan penumpang kereta menyebutnya kereta balik. Keberadaan KRL balik sangat dinantikan karena bisa menjadi kereta sapu peron, menyapu kerumunan orang di peron. Kemungkinan mendapatkan tempat duduk di KRL balik juga lebih besar, jika sigap berebut dengan penumpang lain.
Panji bersandar di tiang besi penyangga atap peron Stasiun Depok mengamati penumpang yang berebut naik ke dalam KRL. Panji kembali menyaksikan the power of emak-emak yang sigap memasuki sesak kereta.
Ayahnya pernah bercerita bahwa di dalam kereta ada beberapa tipe emak-emak atau nyonya yang biasa disingkat Ny. di KRL yang dibedakan berdasarkan perilaku saat menggunakan KRL Commuterline.