Bukan Celana Kolor Biasa

Setiyo Bardono
Chapter #7

Peron #7 : Celana Benrakaton

Di dalam kamarnya, Panji termenung memandangi kartu nama pemberian motivator Sulambene. Kartu nama yang membuat Panji nekat menemui Ki Guntur Mangkukereta alias Ki Gumang. Sebelumnya, rentetan peristiwa membuat Panji risau, mulai dari peristiwa tas yang tertukar, bertemu Kang Asep tukang copet, hingga mendapat wejangan dari motivator terkenal.

Awalnya Panji merasa penasaran, mengapa motivator Sulambene memberinya kartu nama Ki Gumang Consulting. Apakah motivator itu bekerja di kantor Ki Gumang Consulting? Apakah Sulambene salah menyerahkan kartu nama? Jangan-jangan motivator terkenal itu juga pernah konsultasi ke kantor Ki Gumang.

Panji mengamati celana kolor pendek warna hitam merek Benrakaton hasil konsultasi dengan Ki Gumang. Sepintas celana kolor tersebut tidak jauh berbeda dengan celana kolor pada umumnya. Namun bahannya agak elastis seperti karet, mirip celana sport. Desain celananya juga polos, hanya ada tulisan KG Inside. Pasti KG singkatan dari Ki Gumang.

Meskipun sepintas tak ada yang istimewa, tapi menurut Ki Gumang celana kolor tersebut bukan celana kolor biasa. “Ini bukan celana kolor biasa. Kuberi nama celana ini celana Benrakaton. Dengan memakai celana ini kamu bisa menghilang dari pandangan orang lain. Jagalah celana ini jangan sampai jatuh ke tangan pendekar berwatak jahat,” kata Ki Gumang waktu itu.

Sebenarnya Panji hampir tidak bisa membawa pulang celana kolor itu. Awalnya Maya Bohay, Sekretaris Ki Gumang tidak mau menyerahkan celana kolor Benrakaton, karena masalah uang muka atau down payment (DP) yang diberikan Panji tidak sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku.

“Kalau DP-nya lima puluh ribu saja boleh ya Bu Maya yang bohay,” kata Panji.

“Masih kecil sudah merayu. Masak DP cuma lima puluh ribu, sesuai ketentuan DP minimal dua ratus ribu. Ini bukan celana kolor biasa. Emangnya mau kredit panci aluminium yang cicilannya sehari dua ribu,” kata Maya ketus.

“Eh, di sini suka ngreditin panci aluminium juga?” tanya Panji.

“Ya nggak lah. Kalau DP-nya nggak ditambahin, celana ini tidak bisa dibawa pulang. Mas Panji bisa kembali besok, kami tunggu satu kali dua puluh empat jam,” kata Maya.

“Uang di dompet saya tinggal enam puluh ribu, sepuluh ribunya buat ongkos angkot pulang. Emang Bu Maya tega melihat saya pulang jalan kaki?” kata Panji memelas. Ia menunjukkan dompetnya yang nyaris kosong nyaring bunyinya.

“Kan bisa nebeng truk pasir atau truk sedot tinja,” jawab Maya.

“Kok tega banget sih Bu Maya ini.”

Karena Panji ngotot ingin membawa pulang celana kolor Benrakaton, Maya Bohay pun berkonsultasi, tepatnya minta pendapat dengan Ki Gumang. Tak sampai lima menit, Maya Bohay keluar dari ruangan Ki Gumang.

“Sebenarnya sangat berat sekali menyerahkan celana kolor ini pada lelaki yang tidak saya kenal dan tidak bisa membayar DP sesuai ketentuan, tapi karena kebijaksaan Ki Gumang ya sudahlah bagaimana lagi,” kata Maya. Entah mengapa Maya menjadi melankolis, apakah ia punya kenangan yang tak terlupakan yang berhubungan dengan celana kolor.

Akhirnya acara serah terima celana kolor pun berjalan dengan khidmat. Kalau sudah berjodoh, memang celana kolor tak akan kemana, pikir Panji. Sesuai prosedur, Panji menandatangani kuitansi pembayaran uang muka dan surat kesanggupan untuk membayar cicilan di atas materai 6 ribu rupiah.

“Aduh kamu ini bener-bener ya, materai saja saya yang harus nombokin. Ini juga, tanda tangan apa gambar cacing kepanasan,” kata Maya ketus.

“Maafkan saya Bu. Jasa ibu akan saya catat dengan tinta emas.”

“Boro-boro tinta emas, materai kamu aja nggak mampu beli.”

“Tenang saja Bu, uang materainya nanti saya ganti.”

“Ya sudah, tapi ingat ya, cicilannya dibayar tiap bulan sebelum tanggal sepuluh. Kamu pasti tidak mau kami mengirimkan sekompi debt collector ke rumahmu. Kamu juga nggak mau kan celana ini disita.”

“Siap Bu Maya,” kata Panji penuh semangat.

Panji kembali mengamati celana kolor Benrakaton dan melihat barcode yang ada di bagian dalam celana. Ia ingin secepatnya memindai barcode menggunakan ponselnya agar bisa terhubung dengan manual book celana kolor Benrakaton. Tapi, ia teringat beban kredit yang harus dibayarnya tiap bulan. Jika menunggak, Panji tidak bisa membayangkan pintu rumahnya digedor-gedor penagih hutang bertubuh tinggi besar.

“Apakah benar ini rumah Panji Wicaksono?”

“Benar pak. Panji Wicaksono anak saya yang paling ganteng. Ada apa ya,” jawab Ibu

“Mohon maaf Bu, saya ke sini mendapat tugas untuk menagih tunggakan kredit yang belum dibayarkan putera ibu yang ganteng itu.”

“Lho, memangnya anak saya ngredit apa kok nggak pernah bilang ke saya sebagai ibunya. Apa Panji ngredit sepeda motor? Handphone? Laptop? Panci anti lengket? Obat penumbuh kumis?”

“Bukan bu. Anak ibu ngredit celana kolor.”

“Walah, dasar anak nggak tahu diri. Celana kolor saja pakai ngutang segala, nggak bilang-bilang lagi. Emangnya berapa harga celana kolornya? Biar saya lunasi saja.”

“Lima ratus ribu Bu. Anak ibu baru bayar DP lima puluh ribu,” kata penagih utang sambil menunjukkan kuitansi yang ditandatangani Panji.

“Celana kolor harganya lima ratus ribu? Di empok-empok yang suka ngider di sini cuma empat puluh ribu dapat dua celana. Bisa dicicil lagi dua kali bayar.”

“Oh, itu bukan celana kolor biasa Bu. Sebenarnya harganya satu juta cuma karena bulan promo jadi diskon 50%.”

“Hah… Celana kolor harganya satu juta?”

Jika penagih hutang benar-benar datang, bisa-bisa Ibu Panji sukses pingsan. Setelah pingsan, ibunya akan memarahinya habis-habisan. Celana kolornya bisa dipermak jadi lap pel atau dilempar ke atas atap rumah buat penangkal hujan.

Tak hanya berurusan dengan kemarahan ibu, Puteri juga bisa meledeknya habis-habisan, “Cie… Cie… yang habis ngredit celana kolor tapi nggak bisa bayar. Kakak nggak keren banget sih, masak didatangi debt collector gara-gara ngredit celana kolor.” 

Lihat selengkapnya