Bukan Celana Kolor Biasa

Setiyo Bardono
Chapter #9

Peron #9 : Pasukan Kolor

Seharian Panji hanya berdiam diri di rumah. Di dalam kamar, Panji sibuk berselancar di dunia maya mencari info lowongan pekerjaan dan memantau media sosial. Panji merasa harus merenungi diri setelah beberapa kesialan yang menimpa akibat memakai celana kolor Benrakaton. Gara-gara celana itu, paha Panji sampai terluka akibat cakaran kucing kesayangannya.

Saat ibunya pergi belanja ke warung sayur, Panji mencoba menelpon Ki Gumang. Ia ingin mengadukan berbagai masalah yang menimpanya. Ia berharap Ki Gumang bisa memberi solusi atau tips untuk menghindari kesialan akibat memakai celana sakti.

"Maaf Ki, saya mau komplain, setelah saya punya celana kolor Benrakaton, kok saya jadi sial terus. Apa lebih baik saya kembalikan saja ya Ki," kata Panji.

"Maaf Mas, sesuai peraturan: kolor yang sudah dipakai tidak bisa dikembalikan. Bukan apa-apa, baunya itu lho. Jijay tahu. Lagian siapa yang mau beli celana kolor bekas pakai, apalagi jarang dicuci. Sampeyan pasti tidak baca manual book, di situ kan tertulis: syarat dan ketentuan berlaku," celoteh Ki Gumang.

Ki Gumang juga menjelaskan kalau celana kolor yang dipakai Panji masih versi 2.0. Kekuatan celana itu baru bisa menghilangkan tubuh. Katanya, masih ada riset lanjutan dan beberapa pengujian agar performa celana kolor Benrakaton menjadi lebih baik.

"Tapi jangan kuatir. Dalam waktu dekat Gumang Research Center akan meluncurkan celana kolor Benrakaton generasi baru versi 2.1. Celana kolor itu mampu menghilangkan tubuh dan pakaian seseorang hingga tak terlihat pandangan."

"Wah, boleh juga Ki," kata Panji Antusias.

"Ya tunggu saja, mungkin bulan depan setelah saya bertapa di Gunung Salak. Soalnya kiriman tenda ekslusif buat bertapa dari toko online belum datang," jawab Ki Gumang.

"Walah, mau bertapa aja pesan tenda dulu. Mau bertapa apa kemah Ki."

"Ya bertapa lah mungkin sebulan soalnya saya mau nulis novel remaja buat ikut lomba, hadiahnya ratusan juta bro, bisa buat modal bikin pabrik celana kolor Benrakaton. Tendanya yang saya pesan kan didesain berbentuk gua biar tidak diganggu orang.”

“Wah, hebat ya. Maaf mau nanya, kalau bertapa itu nggak boleh makan dan minum ya Ki.”

“Nggak juga lah. Kalau lapar ya makan, daripada sakit nanti ngerepotin negara. Sekarang kan gampang tinggal pesan kuliner via ojek online.”

“Ongkirnya mahal dong Ki, tukang ojeknya harus mendaki gunung.”

“Saya tambahin uang tips lah dua ribu lima ratus dan pencet bintang lima. Sudah jangan banyak tanya, saya ada janji mau makan siang sama Neng Maya.”

“Terus saya harus bagaimana Ki?”

“Jangan terlalu banyak menyalahkan celana yang tidak tahu apa-apa. Ingat, dibalik lelaki hebat ada celana yang kuat.”

--- oOo ---

Malam harinya, saat sedang rebahan di kamar, Panji mendapat informasi penting lewat sambungan telepon dari Awal, temannya. Nama lengkapnya Awalludin. Nama akun facebook-nya Awal yang Baik. Hobinya, makan nasi padang campur paru. Karena tinggal di dekat rumah Nuraini, Awal mendapat tugas khusus untuk melaporkan pada Panji jika melihat sesuatu yang mencurigakan, terutama gerakan-gerakan yang berpotensi membahayakan hubungan Panji dan Nuraini.

”Kolor Satu monitor, Kolor Dua melaporkan ada aroma Buaya Rawa di rumah Cahaya Mata. Red kolor ini,” kata Awal melalui sambungan telepon via WhatsApp.

Kalau sudah berbicara memakai kode Kolor Satu dan Kolor Dua, berarti intel Kampung Telaga itu melihat sesuatu yang mencurigakan. Kode-kode itu diciptakan oleh Awal sejak mendapat tugas mengawasi rumah Nuraini. Sebenarnya Panji risih dengan kode kolor, rasanya aneh dan kurang keren. Biasanya kan kijang satu, dinosaurus dua, curut tiga, es teh manis dua, dan kerupuk tiga.

Darah Panji mendidih. Buaya Rawa berarti Rian. Cowok dari Kampung Rawa itu berani berulah lagi dengan mendekati Nuraini atau Cahaya Mata. Sebelumya, menurut info dari hasil investigasi Kolor Dua alias Awal, Rian juga mendaftar kuliah di Universitas Indonesia meskipun beda jurusan dengan Nuraini. Sepertinya Rian merasa di atas angin karena Panji belum bisa meneruskan kuliah. Red Kolor ini, maksudnya red code!

”Kolor Satu monitor, Kolor Dua menunggu perintah.”

”Kolor Dua, pantau terus jangan sampai kolornya kendor apalagi melorot.”

”Siap laksanakan.”

Panji termenung memikirkan rencana bagaimana agar Rian tidak berlama-lama di rumah Nuraini. Apakah ia harus mengerahkan pasukan kolor agar Rian merasa tak nyaman di rumah Nuraini? Pasukan kolor adalah kode untuk teman-teman Panji di Kampung Telaga. Kehadiran Pasukan Kolor meskipun hanya genjrang-genjreng main gitar di dekat rumah Nuraini bisa membuat Rian keder dan cepat pulang.

Namun saat ini, Panji belum membutuhkan pasukan kolor. Melibatkan pasukan kolor juga membutuhkan biaya logistik yang cukup lumayan, minimal sebungkus gorengan dan minuman ringan. Apalagi saat pasukan kolor beraksi, tiba-tiba ada tukang mie ayam atau bakso cuanki yang lewat, mereka bisa pesan seenak perutnya. Panji bisa bangkrut mendadak.

Tiba-tiba matanya menatap celana kolor Benrakaton yang tergeletak di pinggir tempat tidur. Ide iseng langsung menyelinap di kepalanya. Tanpa pikir panjang, Panji bergegas memakai celana kolor Benrakaton. Cling! Panji yakin kini tubuhnya menghilang dari pandangan orang lain.

Panji keluar perlahan dari kamarnya. Di ruang keluarga, ia melihat Puteri sedang belajar sambil menonton televisi, sementara ibu masih tekun menjahit baju. Panji berjalan pelan melewati keduanya. Setelah keluar dari rumah, Panji setengah berlari menuju rumah Nuraini.

Singkat kata, Panji sampai di depan rumah Nuraini. Ia melihat sepeda motor matik baru berwarna merah terparkir di halaman. Plat sepeda motornya belum terpasang. Panji yakin sepeda motor itu milik Rian, sebab ia hafal sekali sepeda motor milik Pak Bramantyo, ayah Nuraini bahkan nomor platnya. Pasti Rian sedang pamer sepeda motor baru pada Nuraini. Panji tersenyum, naluri isengnya meronta-ronta di dalam benaknya.

Panji perlahan jongkok di dekat sepeda motor. Pelan-pelan ia menggemboskan roda depan dan belakang. Ia tidak boleh tergesa-gesa memencet tombol yang ada di pentil, agar angin yang keluar dari ban sepeda motor tidak menimbulkan suara yang mencurigakan. Setelah kedua ban sepeda motor gembos, Panji masuk ke dalam rumah Nuraini. Seperti biasa, jika ada tamu, pintu rumah Nuraini selalu terbuka lebar.

Panji berdiri di dekat pintu, menatap Rian yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Di depannya, Nuraini yang cantik duduk sambil membaca novel. Panji tersenyum karena sudah hafal kebiasaan Nuraini. Jika tidak suka dengan kehadiran seseorang, Nuraini akan menenggelamkan diri di lembaran buku. Rian terlihat kikuk. Pertanyaan dari Rian dijawab Nuraini dengan kalimat pendek, sementara matanya tetap lekat di novel.

”Kabarnya Nuraini daftar kuliah di Universitas Indonesia ya.”

”Ya.”

”Kita satu universitas dong.”

”Oh gitu.”

Rian menarik nafas panjang. Tangannya meraih secangkir kopi hitam yang ada di meja. Saat Rian menyeruput kopi, tangan Panji menahan cangkir kopi. Rian gelagapan. Pasti bibirnya kepanasan. Panji menahan tawa. Ia merasa sukses mengerjai Rian.

Panji merasa tak perlu berlama-lama di rumah Nuraini. Hembusan kipas angin dari pojok ruang tamu bisa membuat Panji masuk angin. Panji yakin tak lama lagi Rian pulang, menuntun motornya sampai bengkel terdekat kurang lebih 1 kilometer.

Panji membisikkan sesuatu ke telinga Rian, ”Pulang aja, jangan lama-lama di kampung orang.”

Rian terkejut, ”Nur kamu barusan dengar suara laki-laki nggak?”

”Iya dengar, kan dari tadi kamu yang ngomong,” jawab Nuraini.

”Bukan suaraku, Nur. Tapi suara orang lain, tapi sepertinya aku pernah mendengarnya.”

”Suara siapa?.”

Lihat selengkapnya