Jam lima pagi lebih lima belas menit, Panji sudah selesai mandi. Tentu saja ini momen istimewa, karena biasanya Panji tidur kembali selepas salat subuh. Pagi ini, Panji harus pergi memenuhi panggilan wawancara di sebuah perkantoran di seputar Jalan Sudirman, Jakarta. Dua hari sebelumnya, Panji sudah mengirimkan lamaran lewat email untuk mengisi lowongan kerja bagian administrasi.
Beberapa hari ini, Panji rajin mengirimkan beberapa lamaran pekerjaan ke berbagai perusahaan. Kesialan-kesialan yang dialaminya membuat, Panji sadar kalau tidak boleh hanya menggantungkan keberuntungan pada celana kolor Benrakaton. Ia harus berusaha di atas kolor eh kaki sendiri. Panji juga tidak mau terus terus mengandalkan orang tuanya, apalagi untuk membayar tagihan celana kolor Benrakaton. Jangan sampai debt collector datang mengetuk pintu untuk menagih uang kreditan celana kolor. Bisa-bisa celana-celana yang bergelantungan di tali jemuran rumah tetangga tertawa meledeknya.
“Mesin jahit ini tidak akan menghasilkan apa-apa kalau tidak dipakai untuk menjahit baju,” kata Ibu sore itu saat melihat Panji termenung di kamar tamu.
Panji mengerti arah pembicaraan ibunya. Ibu pasti ingin Panji tak hanya diam saja, tapi terus berusaha mencari pekerjaan. Sebenarnya ayah dan ibunya ingin Panji meneruskan kuliah, tapi Panji sendiri berniat kuliah dengan biaya sendiri. Ia tidak mau membebani orang tuanya. Tapi kehadiran celana kolor Benrakaton membuyarkan banyak rencana. Istilahnya, kolormu mengalihkan perhatianku.
Panji berkemas-kemas sambil mempraktekkan metode tunjuk sebut yang diterapkan masinis atau asisten masinis untuk menghindari kesalahan atau kelalaian. Caranya, dengan menunjuk rambu yang ditemuinya sembari menyebutkan statusnya.
Panji berdiri di depan cermin sambil mengacungkan jari telunjuk.
"Baju putih, rapi Oke!"
"Celana panjang. Sip! Tinggal kencangkan ikat pinggang biar nggak melorot."
“Sepatu hitam. Siap mengkilap!”
"Sisiran. Siap ganteng!"
"Parfum. Semprot-semprot, wangi."
"Berkas lamaran kerja sudah siap di dalam tas. Mantap!" kata Panji sambil menunjuk tas baru pemberian ayahnya. Tas hitam bertuliskan Seminar Cara Praktis Mencari Jodoh di Atas Kereta. Entah darimana ayahnya mendapatkan tas dengan tulisan yang aneh-aneh.
"Uang transport. Masih cukup!" kata Panji meneruskan metode tunjuk sebut.
“Kartu KMT. Sudah aman di saku.”
“Sarapan. Sepiring nasi uduk dan bala-bala.”
Panji tersenyum karena semua persiapan sudah lengkap. Tiba-tiba bayangan wajah cantik Nuraini memenuhi pikirannya. Ah, andai Nuraini ada di sini, akan kutunjuk senyummu dan kusebut lembut namamu. Doakan aku ya Nur, semoga aku diterima kerja, biar bisa nraktir mie ayam Wonogiri, batin Panji. Ia melihat bayangan Nuraini merengut: Eh pizza juga boleh, tapi ukuran sedang ya.
Panji menengadahkan tangan, berdoa agar proses wawancara berjalan dengan baik dan ia diterima kerja. Ia juga berharap yang mewawancarainya masih muda, cantik dan baik hati. Ih, ngarep banget ya.
Saat membuka mata, Panji terkejut karena ibunya sudah berdiri di pintu kamar. “Kamu ini kenapa to, dari tadi heboh banget, apa-apa ditunjuk dan disebutin,” kata ibu sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh itu tadi namanya metode tunjuk sebut Bu, ditunjuk apa yang diperlukan kemudian disebutin, biar nggak ada yang ketinggalan. Panji niru cara masinis Bu."
"Kamu ini ada-ada saja. Habis dari tadi ngomong sendiri, jawab sendiri, kayak orang kesambet jin pohon asem. Anak zaman sekarang ada-ada saja."
"Nah, sekarang Panji sudah rapi jali. Panji pergi dulu ya Bu! Doain Panji diterima kerja" kata Panji sambil mencium tangan ibunya.
“Amiin, Ibu selalu mendoakan yang terbaik buat anak Ibu yang paling ganteng.”
Dari beranda rumah, Ibu Panji menatap anaknya yang akan berjuang menaklukkan kerasnya kehidupan ibukota. Setelah Panji menghilang dari pandangan, Ibu melanjutkan aktivitasnya di dapur.
Tak lama, terdengar suara Ibu Panji, “Bawang merah. Siap diiris."
"Bawang putih. Ada!"
"Cabe. Oke!"
"Garam. Siap! Secukupnya saja."