BUKAN CERITA CINDERELLA

memia
Chapter #11

TIGA IBLIS

Tidak seperti yang Adi katakan sebelumnya bahwa ia hanya akan pergi selama dua hari bersama Martina, tapi sudah hampir seminggu ia belum juga pulang. Bella tidak tahu ada keperluan apa papanya sampai pergi selama itu. Biasanya Bella tahu kemana Adi pergi untuk urusan kantor, dan selalu menguhubungi Bella setiap hari. Adi terakhir meghubunginya tiga hari yang lalu, mengatakan kalau ia sedang berada di suatu tempat bersama Martina dan akan memberi kejutan kepada Bella bila nanti pulang. Tapi ada yang aneh, ponsel Martina juga tidak bisa dihubungi.

Bella dilanda gelisah dan khawatir, Anya dan Arneta pun tidak memberikan jawaban yang pasti ketika ia bertanya tentang kabar papanya. Malah, keduanya terkesan tidak peduli dengan Martina yang juga belum ada kabar apapun. Dua saudaranya itu juga jarang ada di rumah akhir-akhir ini. Entah ada urusan apa, Bella juga tidak terlalu peduli. Bella hanya ingin tahu kabar papanya sekarang.

Bersama Christian, Bella juga mencoba untuk mencari informasi tentang keberadaan yang sebenarnya dari papanya. Bertanya kepada sekretarisnya Adi di kantor, yang mengatakan Adi memang ada pertemuan dengan klien di Singapura. Tapi hanya dua hari, setelah itu orang-orang kantor belum menerima kabar lagi dari pimpinan mereka. Karyawan Adi mengira kalau bosnya itu sedang liburan bersama istrinya, jadi tidak ada yang berani untuk menghubunginya.



Pulang kuliah hari ini, Bella diantar pulang oleh Christian yang selalu menemaninya sejak Adi pergi. Setelah laki-laki titisan pangerannya itu pergi dari halaman rumahnya, Bella mulai masuk ke dalam. Dia meraih ponselnya untuk menghubungi Adi lagi, siapa tahu kali ini ia bisa dihubungi.

Sambil berjalan dengan ponsel yang masih ditempelkan ditelinganya, Bella mulai memperhatikan keadaan rumahnya yang terasa berbeda.

Ini terlalu sepi dan hening, dimana semua orang. Bi Mirna juga tidak terlihat di sekitar dapur.

Karena nomor papanya tidak kunjung menjawab panggilannya, Bella memasukkan kembali ponselnya ke dalam tasnya dan memutuskan untuk menemui Arneta di kamarnya.

Tangannya hampir sampai untuk membuka daun pintu kamar saudari tirinya itu. Tapi suara yang cukup keras terdengar dari dalam ruangan itu, menghentikan gerakannya.

“Aku sudah bosan berpura-pura Mam!”

Alis Bella mengernyit, itu suara Arneta. Apa ia sedang bersama Anya, suaranya terdengar kesal. Tidak ingin mengganggu urusan orang lain. Bella hendak berjalan ke arah kamarnya yang berada didepan kamar Arneta.

“Sebentar lagi Arneta! Aku pusing mendengar keluhanmu. Adi sudah aku urus, tunggu sebentar lagi. Setelah kita menghabisi satu-satunya pewaris harta keluarga ini. Baru kita bisa menikmati semuanya.”

Kedua mata Bella terbelalak, kedua kakinya berhenti mendadak, telinganya tidak salah mendengar kan? Itu suara Martina yang membalas ucapan Arneta. Kapan ia kembali ke rumah, dan kenapa papanya tidak terlihat bersamanya.

Tangan Bella hendak mengetuk pintu kamar itu lagi, ingin menanyakan tentang kabar papanya dan kenapa Martina bisa pulang tanpa Adi. Tapi dari arah lantai bawah terdengar langkah kaki menaiki tangga dengan tergesa. Dengan perasaan ragu dan bingung  dengan apa yang didengarnya barusan, Bella memutuskan memasuki kamarnya dengan cepat dan menutup pintu dengan pelan. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi dan harus membuatnya bersembunyi terlebih dahulu.

Dari celah pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat, Bella mengintip. Menunggu seseorang yang sedang berjalan ke arah kamar Anya yang berada di sebelah kamar Arneta.

Dengan penglihatannya yang terbatas, ia hanya bisa melihat Anya keluar lagi dari kamarnya seperti kesulitan menarik sesuatu yang tidak bisa dijangkau penglihatan Bella. Karena Bella tidak mungkin membuka pintu kamarnya lebih lebar lagi.

Setelah sampai di depan kamarnya Arneta, Anya berhenti menyeret benda yang sekarang ia tinggalkan di depan kamar begitu saja. Dengan wajah kesal ia mendorong pintu kamar dengan berteriak.

“Kenapa kalian tidak membantuku?! Wanita itu berat tahu! aku tidak bisa masuk kedalam kamar mandi karena ia menghalangi pintu.”

Terdengar suara terbahak, dan menghilang seiring pintu kamar yang ditutup kembali. Meninggalkan Bella dengan sejuta tanya di benaknya.

Bella berusaha mengingat kapan terakhir ia mendengar atau melihat ketiga perempuan itu tertawa atau mengeluarkan suara sekeras tadi. Tidak pernah, mereka selalu lembut dalam mengucapkan kata-kata. Memang beberapa kali dirinya dan Arneta sering tertawa bersama. Tapi untuk Anya dan Martina, Bella baru mendengarnya sekarang.

Karena penasaran, ia membuka pintu kamarnya perlahan agar tidak mengeluarkan bunyi yang bisa didengar tiga orang yang masih berada di dalam kamar Arneta.

Yang pertama kali dilihatnya dari benda yang masih tergeletak di lantai depan kamar Arneta adalah tangan, tangan manusia yang berlumuran darah.

Bella membekap mulutnya sendiri, mencegah suara terkejut keluar dari mulutnya. Ia membuka kembali pintu kamarnya lebih lebar.

Rahangnya jatuh dengan mata terbelalak, ketika seluruh dari benda itu terlihat jelas dengan matanya.

Itu, tubuh Bi Marni.

Dengan sebuah pisau yang masih menancap di dadanya.

Sepasang kaki Bella terasa kaku, kedua tangannya bergetar hebat.

Wanita itu, yang merawatnya dari kecil, yang selalu menemaninya di rumah, yang menyayanginya sepenuh hati.

Terbaring dengan darah yang membasahi lantai.

Lihat selengkapnya