“Kamu gegabah Arin.” Mulut tipisnya berucap dengan dingin, menatap adik perempuannya yang hanya menghela napas.
Dari awal menolong Bella, remaja ini sadar, kakak laki-lakinya itu tidak akan suka dengan apa yang dilakukannya. Arin hanya menuruti hati nuraninya saja, melihat seseorang yang butuh bantuan tentu saja ia tidak akan diam. Meskipun apa yang dilakukannya akan mempunyai dampak yang besar bagi mereka. Terutama laki-laki yang terpaut usia delapan tahun di depannya ini.
Arga Batara.
Pria berkulit sawo matang ini tidak suka ada orang asing yang memasuki rumahnya, terutama hidupnya. Selama ini ia berusaha untuk tidak kembali berurusan dengan orang baru. Ia berada di tempat ini adalah untuk mencari ketenangan. Untuk menghindari sesuatu yang akan membuatnya kembali merasakan sakit yang meremukkan hatinya.
Adik satu-satunya ini adalah gadis yang selalu penasaran dengan apapun. Ingin tahu dan sedikit ceroboh. Tapi Arin adalah anak yang ceria dan pintar, ia adalah alasan satu-satunya Arga untuk tetap berpikir waras disaat dunia sepertinya tidak berpihak padanya.
Arin hanya menunduk mendapat tatapan tidak suka dari kakak laki-lakinya yang baru saja kembali dari perjalanannya ke luar pulau.
Pemuda itu masih menunggu penjelasannya yang menurutnya melanggar aturannya untuk tidak membawa orang yang tidak dikenal masuk ke dalam rumah ketika dia pergi. Yang membuatnya kesal adalah, gara-gara orang gila itu kamarnya jadi kotor dan kasur yang diharapkannya bisa menjadi alasnya untuk melepas penat setelah melakukan perjalanan jauh ikut kotor.
“ Siapa orang gila itu, kenapa membawanya ke rumah?” suara berat yang terdengar mendominasi itu membuat Arin mengangkat kepalanya.
“Dia bukan orang gila, kak.” Bantah Arin.
“Mau gila atau tidak, jangan pernah memasukkan orang asing ke dalam rumah!”
“Iya iya aku tahu, tapi pertama melihatnya aku ngerasa dia bukan orang jahat.”
“Darimana kamu tahu dia bukan orang jahat? Kamu mau dia berbuat jahat dulu, baru kamu tahu dia bukan orang baik? Atau dia hanya terlihat menyedihkan untuk membuat kita kasihan?”
Rentetan pertanyaan itu membuat Arin kesal.“Cerewet ih, ya udah besok aku akan menyuruhnya pergi. Sekarang udah malam, lagipula dia tidak tahu sedang berada dimana.”
Bibir Arin mengerucut, padahal ia hanya membawa orang yang membutuhkan bantuannya. Tapi kakaknya itu membuatnya seperti anak nakal yang membuat kesalahan besar.
Arga lantas membuang napas, mengatur emosinya untuk tidak membuat suasana semakin panas. Padahal ia ingin sekali berbaring di kamarnya saat ini. Badannya membutuhkan kasur dan bantal saat ini.