BUKAN CERITA CINDERELLA

memia
Chapter #22

MARI BICARA

Bella tidak bisa lebih lama lagi berbaring di kamar. Dua hari sepertinya cukup untuknya memulihkan kembali tubuhnya setelah kekalahannya di Arena. Ia sangat kecewa terhadap dirinya sendiri, kenapa ia bisa kalah. Seharusnya saat ini ia sudah bisa menghubungi Christian untuk menjemputnya dan mungkin sudah bisa bertemu dengan papanya.

Matahari belum menampakkan wujudnya tapi Bella sudah menuju belakang rumah. Di mana terdapat alat-alat olahraga milik Arga. Ia melupakan lebam dan memar yang masih terlihat di wajah dan tangannya.

Bella memperhatikan ruangan yang terbuka itu, tanpa dinding dengan atap yang bisa melindunginya dari hujan dan panas. Udara mungkin masih terasa dingin, tapi ia membuatnya hangat dengan melakukan peregangan lebih dahulu. Setelah itu ia mendekat ke arah benda yang menggantung disana.

Arga yang melihat seseorang keluar dari pintu rumahnya, mengikutinya dan memperhatikannya dari jauh.

Arga masih memperhatikan Bella yang sedang berlatih sendiri ketika matahari mulai naik. Ia tahu, gadis itu pasti sangat kecewa dengan kekalahannya di Arena dua hari yang lalu. Bella memang masih penuh dengan amarah, setiap gerakannya diselimuti nafsu yang hanya membuatnya kehilangan tenaga.

Padahal Bella mempunyai potensi yang besar untuk membangun kemampuan bela dirinya. Di balik tubuhnya yang kecil, Bella mempunyai kekuatan yang berasal dari hatinya. Jika saja ia bisa mengolahnya dengan cara bisa mengendalikan emosi yang masih sering menyesatkan pikiran dan gerakannya.

Mungkin perasaan kehilangan dan kebenciannya terhadap Martina masih menguasai akal pikirannya. Bella belum bisa memisahkannya dengan kenyataan. Dan hal itu memang akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk belajar lagi tentang pengendalian diri.

Seperti saat ini, sudah berkali-kali Bella memukuli samsak di tempat latihannya. Padahal benda itu baru saja diperbaiki Arga, tapi sepertinya sudah tidak berbentuk lagi. Matanya lurus menatap penuh marah. Yang ada di dalam pikirannya seolah-olah samsak itu adalah Martina, Anya dan Arneta.

Arga segera mendekati dan berdiri di depannya.

“Berhenti.”

Tapi Bella tidak mendengarnya, ia masih memukuli benda itu. Matanya memerah dengan wajah tegang membuat Arga khawatir.

“Bella berhenti!”

Arga menarik tangan Bella, menjauhkannya dari samsak.

Keringat membasahi wajah Bella, yang diusapnya dengan kasar.

Arga menatapnya serius.“Kamu tidak akan pernah menang dengan cara seperti ini.”

Kedua mata Bella memanas, menatap pasrah laki-laki di depannya. Perasaannya runtuh seketika.

“Aku harus pulang Ga.” Ucapnya pelan.

“Kamu harus bisa menguasai amarah dan perasaan dendam.”

Bella memejamkan matanya, membuat butiran air matanya menetes, tubuhnya bergetar. Arga tertegun, sebelum ia menarik bahu Bella untuk bersandar di dadanya.

Tangis Bella pecah, seluruh perasaannya yang kacau ia curahkan ke dalam sebuah isakan yang terasa menyakitkan bagi Arga.

Cukup lama Bella berada dalam dekapan Arga, membiarkan baju pemuda itu basah terkena air matanya. Tangannya meremas kuat kaos yang dipakainya.

Setelah kematian mamanya, Bella tidak pernah lagi menangis seperti ini. Seakan seluruh perasaannya meledak, segala sesak di dadanya melebur dan hangatnya dada Arga membuatnya mengingat pelukan yang sama hangatnya dari papanya.



Lihat selengkapnya