Bukan Widi yang jadi lawannya, tapi perempuan yang sama yang pernah membuatnya babak belur minggu lalu.
Wanita itu tersenyum pada Bella, setelah mereka berhadap-hadapan. "Hai kita bertemu lagi, kamu memang hebat. Tapi aku tetap akan menang lho."
Bella menarik napas, merasa telah siap untuk pertarungannya kali ini.
Dan, beberapa menit kemudian wanita itu mengerang, terpojok di pinggir Arena dengan wajahnya yang sudah tidak mulus lagi. Sementara Bella masih berdiri, terengah dengan luka di pelipisnya.
Saat tangan lawannya terangkat, tanda menyerah dan harus mengakui kehebatan gadis muda di depannya itu. Riuh sorakan terdengar dengan Bella yang perlahan tersenyum sambil menatap dua orang yang menunggunya di dekat pintu masuk Arena.
Arga memasang plester di pelipis Bella dengan diam, sementara Bella merasa jantungnya berdebar melebihi saat ia berada di Arena tadi. Ketika jari-jari itu sedikit menyentuh wajahnya, Bella merasakan sesuatu menggelitik perutnya. Ia ingin berlama-lama seperti ini. Melihat wajah Arga dari dekat, merasakan hembusan nafasnya yang hangat.
Arin keluar dari kamarnya, menyerahkan benda pipih yang selama ini ia sembunyikan di lemari pakaiannya. Meskipun berada di tengah hutan, tapi sinyal masih bisa tertangkap meskipun hanya dua atau tiga garis. Karena itu Arga dan Arin jarang menggunakan alat berkomunikasi itu dan lebih memilih untuk menyimpannya saja.
Yang masih diingat Bella hanya nomor Adi dan Christian. Karena nomor papanya sudah tidak bisa dihubungi, ia hanya bisa menghubungi laki-laki berkulit putih itu.
Duduk sendiri di bangku halaman, Bella mengetik nomor Christian dengan pelan-pelan, dadanya berdebar tidak sabar untuk mendengar suara pemuda itu.
Cukup lama panggilannya tidak diangkat, Bella menunggu, mungkin saja Christian bingung dengan nomor yang tidak dikenal menghubunginya.
“Hallo.”
Bella memejamkan matanya begitu mendengar suara yang sangat dinantikannya itu. Ia menarik nafas untuk mengatur suaranya.
“Chris, ini aku...Bella.”
Bella tahu, Christian pasti sedang mengingat-ngingat suaranya. Maka ia mengulangi menyebut namanya.
“Aku Arabella.”
Terdengar hembusan nafas, ada jeda beberapa detik sebelum suara pemuda itu terdengar lagi.
“Astaga Bella! Kamu kemana saja? Aku menghubungimu tapi tidak pernah diangkat. Tante Martina hanya memberitahuku kalau kamu pergi liburan, tapi aku tidak percaya. Dan aku juga tidak pernah melihat om Adi, sejak kita mencarinya di kantor.”
Christian khawatir, tentu saja.
“Christian, nanti aku ceritakan semuanya, besok jemput aku di alamat yang aku kirim padamu.”
“Oke oke, aku akan menjemputmu. Tapi kamu baik-baik saja kan?”
“Aku baik, lebih baik...baiklah aku tutup dulu teleponnya.”
Bella masih menggenggam benda pipih itu, akhirnya ia bisa keluar dari tempat ini setelah beberapa pelajaran yang ia dapat dari Andera. Meskipun ia masih sedikit kecewa terhadap Arga dan Arin yang membohonginya untuk menahannya disini, tapi ia tahu semua demi kebaikan dirinya, agar Bella setidaknya bisa mempersiapkan tubuh dan pikirannya untuk menghadapi Martina nanti. Kemenangannya di Arena adalah buktinya. Bella merasa sudah siap, tapi ia tetap harus waspada. Demi menemukan papanya yang ia rasakan masih hidup.
Dan Christian adalah satu-satunya orang yang bisa ia percaya, dan mungkin bisa membantunya mencari Adi.