Panjang perjalanan ini membuat Hasna paham, jika berekspektasi pada hal yang abu-abu tak akan menghasilkan apapun.
****
Puput berdecak melihat buku yang tergeletak di atas ranjang bersprei karakter keropi. Membolak-balikan buku yang dia tebak bergendre romansa khas remaja gaul. Ah entah beneran gaul atau penulisnya aja yang suka ngarang.
"Hayo lagi ngapain kamu?" ucap Hasna yang membuat Puput berjingkat kaget.
"Hasna! Kebiasaan deh sukanya ngagetin," sungut Puput.
Hasna terkekeh singkat. "Lagian kamu lagi ngapain sih? Tumben-tumbenan ada di tempat ternyaman punyaku."
Puput mendengkus kala teringat dengan novel yang masih digenggamnya, menatap tajam Hasna yang belum sadar apa kesalahannya.
"Puput, ngapain sih, ngeliatin aku gitu? Jangan-jangan Puput kesambet setan sungai, parah nih. Aku harus buru-buru lapor ustaz," ucap Hasna.
Puput menarik lengan Hasna saat sang empu bersiap berdiri, membuat Hasna kembali terduduk di kasur tipis miliknya. "Duh, Put, kamu harus tahan yah, aku nggak akan lama kok panggil ustaz Haikalnya, dan untuk jin yang ada di tubuh Puput. Jangan macam-macam ya! Awas aja kamu kalau macam-macam aku suruh ustaz Haikal masukin kamu ke botol marjan."
"Heh! Nggak ada yang kesurupan, kamu jangan ngada-ngada deh," sungut Puput kesal.
"Tuh kan, Puput temanku itu nggak pernah ngomong pakai nada tinggi. Dia itu lemah lembut, kalem nggak kaya kamu, pasti kamu bukan Puput kan? Ngaku deh."
Puput mencebikan bibirnya, memang ya, berbicara dengan Hasna nggak akan ada selesainya. "Ini maksudnya apa?" tanya Puput sambil menunjukan buku bersampul merah muda dengan judul My Love is Badboy.
Hasna meringis pelan, sekarang ia tahu apa kesalahannya. Pantas saja Puput murka, rupanya ini masalah novel yang baru dibelinya.
"Udah berapa kali sih Na, Puput bilang, jangan beli buku kaya gini lagi. Kenapa kamu masih terus-terusan ngeyel."
Hasna menggaruk kepalanya yang tertutup kerudung putih. "Habis gimana Put, Hasna bosan kalau harus terus ngaji dan hafalan. Hasna juga butuh hiburan."
Puput menghela napas kasar, paham tabiat Hasna yang keras kepala. Rasanya percuma bila memberi nasihat pada gadis berwajah bulat itu, nggak akan pernah didengar kecuali dapat hidayah. Iya hidayah yang paling Puput tunggu untuk sahabatnya itu.
"Na, kalau kamu ketahuan bisa-bisa kamu dimarahin habis-habisan. Puput nggak mau kalau Hasna dimarahin, udah deh nggak usah beli novel kaya gitu lagi."
Hasna berdecak sambil menyilangkan tangannya ke dalam dada. "Puput mah nggak tahu gimana rasannya jadi Hasna. Hasna tuh nggak bisa kalau hidup tanpa hiburan. Hasna pengin pergi ke bioskop, pengin berenang. Tapi karena di sini Hasna nggak bisa lakuin itu, jadi yaudah Hasna beli novel aja biar penatnya Hasna hilang."
"Dasar kebiasaan kamu, drama mulu hidupnya."
Percakapan mereka terhenti kala nama mereka diteriaki oleh kakak santri yang sudah membawa lidi untuk mengetuk tiap-tiap kamar yang masih ada orang di dalamnya. Mereka harus segera bersiap melaksanakan sholat maghrib berjamaah. Sebelumnya Puput telah meletakkan novel dibawah bantal Hasna. Dia tak ingin ada yang mengetahui fakta bahwa Hasna selalu membeli novel tiap bulannya. Meski dia tahu salah, tapi mau bagaimana lagi, Puput tak ingin sahabatnya dimarahi karena sebuah novel.
****