Meninggalkan atau ditinggalkan. Dua hal yang selalu berujung kesedihan.
****
Tepat di depan lemari kayu yang warnanya sudah memudar, Hasna berdiri dengan satu tangan memegang gagang pintu. Berulangkali menghela napas, sampai akhirnya Hasna membuka lemari yang sudah menemaninya selama tiga tahun. Dilihatnya baju di dalam lemari yang sedikit, sisanya berisi novel teenfiction yang tokoh utamanya badboy atau coolboy.
Hasna mulai mengambil novel-novel yang jumlahnya sekitar lima puluh buku. Lemari Hasna di pesantren memang sangat kecil, berbeda dengan lemari di rumahnya yang ada di ibu kota.
"Mau aku bantu?" tanya Puput yang baru saja kembali setelah mencuci pakaian.
Hasna mengangguk cepat, rasanya begitu berat meninggalkan tempat yang menyimpan banyak kenangan.
"Oh ya Na, baju kamu banyak yang masih ada di lemariku, biar kuambil dulu ya."
Lagi-lagi Hasna hanya mampu mengangguk, mulutnya terasa kelu bahkan hanya untuk mengucapkan kata iya. Berat bagi Hasna meninggalkan Puput, sahabatnya dari Tk. Dulu saat umurnya menginjak lima tahun, orangtua Hasna membawanya berkunjung ke desa yang berada di kota Pemalang. Sejak saat itu Hasna mengenal Puput, gadis pendiam yang selalu memakai kerudung jika pergi keluar. Entahlah mengapa Hasna begitu nyaman berteman dengan Puput. Sampai ketika waktu libur habis Hasna tak mau pulang, ia ingin menetap bersama nenek dan kakeknya saja di desa.
Selama di desa, Hasna selalu mengikuti ke mana pun Puput menempuh pendidikan. Padahal Hasna sendiri termasuk anak dari keluarga yang berada. Namun ia tak pernah mau dimasukkan ke sekolah elit, karena Hasna hanya ingin terus bersama Puput. Dan akhirnya hari ini Hasna memutuskan untuk tidak lagi mengikuti langkah Puput, karena Hasna sadar kelak Puput akan mempunyai kehidupan sendiri, begitupun dirinya. Lebih baik Hasna mencoba mandiri dan tidak terus bergantung pada Puput, daripada nanti Hasna repot sendiri kalau akhirnya Puput lebih memilih bersama pasangannya.
Puput yang melihat Hasna tengah melamun hanya menggelengkan kepalanya singkat, sepertinya dia akan sangat merindukan sahabat manjanya itu. Puput meletakkan baju-baju Hasna yang tersimpan di lemarinya ke dalam koper. Kadang ia kesal karena lemarinya menjadi penuh oleh pakaian Hasna. Tapi ia pun malas mendengarkan rengekan Hasna yang bingung ingin menaruh novel di mana. Harusnya Puput lega karena ia tak akan mendengar rengekan manja dari Hasna lagi. Dia tak akan kerepotan mengurus keperluan Hasna yang memang tak bisa mandiri, tapi entahlah mengapa hatinya justru merasa sedih hanya dengan melihat baju Hasna yang tertumpuk di dalam koper.
Puput menghela napas panjang, dia tahu waktu ini akan segera terjadi. Dia pun tak akan menahan Hasna agar tetap tinggal. Sudah waktunya Hasna mencari tujuan hidupnya sendiri tanpa tergantung lagi padanya. "Na, kamu udah benar-benar yakin, kan? Untuk meninggalkan pesantren ini?"
Hasna mengangguk ragu, sebagian hatinya mengatakan bahwa ia harus tetap tinggal tapi sebagian lagi menyuruhnya untuk pergi.
"Kalau ragu, harusnya kamu sholat istiqharah dulu, minta petunjuk sama Allah biar nggak ragu lagi."
Hasna menghela napas, sudah menebak apa yang akan diucapkan oleh Puput. "Hasna yakin kok Put, nggak perlu sholat lah."
Puput berdecak, sebelum mengatakan. "Kamu ini kebiasaan nggak pernah mau diarahin ke jalan yang benar."
"Karena itu aku harus pergi, Put."
Puput mengernyit. "Maksudnya?"
"Karena Hasna ceroboh dan manja Hasna harus selalu diarahin Puput, makanya Hasna ingin ke kota aja biar Hasna bisa mandiri."