Bukan Cinderella

Noura Publishing
Chapter #1

Prolog

Twenty Five Minutes Too Late

“Saya terima nikahnya Laili Dewayanie Suwito dengan mas kawin tersebut tunai.”

Air mataku yang sedari tadi tak mau berhenti menetes, kini menetes makin deras. Ingin rasanya aku melarikan diri dari belenggu yang mengikat hati dan jiwaku di sini, tapi tak bisa. Kususut hidungku yang pasti sudah sangat memerah dengan tisu. Jantungku melompat, meninggalkanku sendirian, ketika kudengar semua orang di sini berkata, “Sah. Sah.”

“Alhamdulillah….”

“Barakallahu laka wa baraka alayka, wa jama’a baynakuma fî khairin …”

Aku terlongong.

Subhanallah. Hanya dalam beberapa menit, statusku berubah. Dari seorang gadis menjadi nyonya. Nyonya? Am I?

Bagai tak ingin percaya, aku mengintip dari balik bulu mataku. Ada seorang laki-laki tampan dan gagah di sisiku. Dia mengenakan jas yang tampak mahal dan kalungan bunga melati di lehernya. Laki-laki itu mengerling ke arahku, agaknya dia tahu bahwa aku meliriknya barusan. Buru-buru aku menunduk gugup. Tidak, jangan sampai dia tahu aku mengagumi ketampanan wajahnya.

Laki-laki itu, suamiku sekarang, membaca sighat taklik1. Suaranya ngebas, dan seketika membuat jantungku berdegup sangat kencang. Aku mendadak merona.

Namun, sebuah suara di hatiku langsung berseru, “Jangan menjatuhkan dirimu ke dalam cintanya! Kamu kan tahu, dia bahkan tak akan memandang sebelah mata kepadamu!”

Perih, kugigit bibir bawahku.

Kembali air mataku menetes, tanpa bisa kutahan.

Di ruang ganti, kini aku ditempatkan hanya bersamanya. Bersama laki-laki yang kini menjadi suamiku. Namanya Mahendra Prabowo, dan aku boleh memanggilnya Andra. Kami duduk bersisian, sambil menanti giliran dirias.

Dia berdeham, entah maksudnya kepada siapa.

Aku menunduk dalam. Mungkin daguku sudah rapat ke dada.

“Nanti make up-nya jangan tebal-tebal, ya,” katanya, lebih sebagai permintaan. Pasti ditujukan kepada perias pengantin.

“Aku nggak suka pengantinku terlihat menor.”

Oh? Bicara kepadaku?

“Ya. Mas bisa bilang sama periasnya nanti,” jawabku kaku, masih sambil menunduk.

Apa tadi yang kubilang? Dengan apa kupanggil dia? Mas? Asal tahu saja, dia lima tahun lebih muda dariku. Tapi dia suamimu sekarang, Laili. Suara hatiku yang lain berbicara.

“Kamu juga harus bilang sama periasnya.”

“Ya, tentu saja.”

Diam lagi. Aku bisa mati dalam kesunyian jika demikian terus kejadiannya, sepanjang pernikahan kami kelak.

“Mbak dan Mas pengantin, bisa ganti baju sekarang, ya?” Tiba-tiba suara perias mengagetkanku.

“Gantinya di mana?” tanya kami, kompak.

Kami pun saling berpandangan. Refleks.

“Di mana? Ya di sini aja.” Mbak perias tampak kebingungan.

“Iya, di sini aja, emang mau di mana lagi?” tukas perias yang satunya, yang berperawakan agak gemuk.

Hah? Apa? Ganti baju di depan dia?

Aku langsung merasa wajahku memerah seketika. Sementara dia menjengit.

“Sa-saya mau ganti di toilet aja, Mbak,” serobotku.

“Lho, toiletnya lumayan jauh, Mbak. Lagian ribet. Di sini aja, masa malu sih sama suami sendiri? Kalau Mbaknya masih malu, kita tutupin pakai jarik aja.” Mbak perias memberi saran, sambil terkekeh.

“Please, Mbak, saya bisa cepet kok ganti bajunya. Kalau perlu saya balik ke sininya nanti lari .…”

“Lari? Nanti malah jatuh, bahaya.”

Aku panik. Aku melirik ke arah Andra, berharap dia berkomentar.

“Saya saja yang di toilet, Mbak. Bisa cepat kok,” usul Andra. Akhirnya.

Lihat selengkapnya