Kepingan Puzzle
“Yusuf, sudah berapa kali Mbak Laili bilang, jangan main sama anak sebelah! Kok kamu tetap mbandel sih?” omelku saat adikku baru saja pulang bermain dari rumah besar di sebelah rumahku. Seperti biasanya.
Yusuf menatapku tak mengerti. “Emang kenapa sih, Mbak? Orangnya baik, kok, nggak sombong, nggak kayak si Leo yang di seberang rumah kita.”
“Malu-maluin aja kamu, tiap habis main ke sana, kamu bawa pulang kue atau makanan. Kayak orang susah aja kita, dikasih-kasih makanan segala,” gerutuku sambil menuang tepung terigu ke dalam adonan kueku. “Mbakmu ini kan gini-gini juga tukang kue,” lanjutku.
“Iya, tapi kita emang orang susah kan, Mbak?” selanya bandel.
“Hush! Sesusah-susahnya kita, kan nggak kekurangan makan. Apalagi Mbak juga kerjanya bikin kue! Jangan suka celamitan, minta-minta makanan sama orang kaya, nanti buntut-buntutnya kita yang dihina!”
“Siapa juga yang minta? Orang aku dikasih, kok.”
“Terserah kamu, deh. Aku tahunya kamu nggak dihina sama mereka, ya?”
Yusuf menjeling. “Terserah Mbak Laili juga sih, mau nyicip atau nggak. Ini kuenya orang kaya, lho!”
Aku mencibir. Namun mataku melirik juga kue yang tampak menggiurkan itu. Namanya Milles Feuilles, bahasa Prancis. Kalau nggak salah, bacanya miye foye gitu. Sejenis pastry, yang kulitnya dibuat dari korsvet, alias lemak yang dari daging. Maafkan kalau aku salah. Aku tahu kue itu, tapi seumur hidupku, ya, belum pernah merasainya. Jadi, wajar kan kalau aku agak ngiler juga.
“Mbak Laili, kalau mau ambil aja, deh. Kali aja Mbak bisa menelitinya. Jadi nanti bisa bikin sendiri untuk kita dan untuk dijual.”
Hah? Kue semahal itu untuk dijual di kantin sekolah-sekolah sekitar sini? Yang benar saja. Siapa yang mau beli? Lagipula, berapa modal yang kubutuhkan untuk membuat kue itu? Aku nyengir pahit.
Sama sekali nggak terjangkau. Itu bukan kue rakyat, Yus!
Tahun demi tahun berlalu. Aku dan Yusuf masih sepasang yatim-piatu yang tinggal di sebelah rumah orang kaya itu. Oh iya, tadinya kami tinggal bersama Ibu, setelah bercerai dari ayah yang kemudian menikah lagi. Ayah meninggal lebih dulu dari ibu. Lalu pada usia lima belas tahun, hidupku berubah. Aku harus menopang kehidupanku dan adikku, karena Allah memanggil ibuku lewat penyakitnya, kanker rahim. Sebagai peninggalannya, Ibu mewariskan rumah sederhana ini buat kami, selain ilmu memasak dan keterampilannya yang amat berharga bagiku. Ya, dengan memasak dan berbagai keterampilan itu aku mendapatkan rezeki untuk menyambung hidup kami berdua.
Sudah tekadku membiayai Yusuf hingga jenjang universitas. Sementara aku mencukupkan diri dengan bekerja sambil kuliah semampuku. Aku mengambil jurusan Sastra Inggris, sambil tetap menerima pesanan masakan dan kue.
Yusuf masih bersahabat dengan anak tetangga sebelah yang sebaya dengannya. Andra namanya. Remaja yang baru beranjak dewasa itu sangat pendiam dan serius di balik kacamatanya. Berbeda dengan Yusuf yang lebih supel, meski sama-sama berkacamata dan hobi belajar.
Syukurlah. Kukira dia tipe orang kaya yang belagu, kayak si Leo yang tinggal di seberang rumah kami. Sebenarnya Leo sih nggak kaya-kaya amat, hanya keluarganya saja yang belagu, sok ningrat, sok elite. Hahaha. Masa emak si Leo belanja ke tukang sayur saja pakai payung. Lagian, kan ada pembantunya yang belanja, kenapa dia juga ikut nongol, ya? Belakangan aku tahu, emak si Leo ingin ikutan bergosip dengan ibu-ibu lain, juga para pembantu. Makanya, aku kurang nyaman bergabung dan memilih belanja sendirian. Apalagi, kalau kudengar emak si Leo sesumbar tentang keluarga mereka yang katanya keturunan ningrat inilah, kenal pejabat itulah, teman dekat artis anulah. Hih!
Sementara, keluarga Andra yang benar-benar keturunan ningrat sangat menjaga diri mereka dari hal-hal norak dan kampungan seperti itu. Sama sepertiku, ibu Andra tak suka belanja di tengah keramaian. Dia menyuruh pembantunya belanja saat gerombolan itu sudah bubar jalan.
Oh ya, ibu Andra beberapa kali memesan masakan atau kue padaku. Padahal dia punya dua pembantu rumah tangga. Entah kenapa. Apa karena masakan atau kue buatanku lebih enak dari hasil karya pembantunya ya?
Yang jelas, akunya yang senang, soalnya dia tidak pelit dan suka memberi uang lebih.
Beberapa kali aku melihat Andra sekilas ketika mengantar masakan pesanan ibunya yang ramah. Dia dan Yusuf tumbuh menjadi remaja yang serius dan tak pernah kelihatan punya hubungan dekat dengan gadis mana pun. Padahal kata Yusuf, banyak loh cewek yang diam-diam atau terang-terangan suka Andra. Tapi, Andra cuek dan tidak memilih satu pun dari mereka untuk dijadikan pacar. Yusuf tahu hal ini karena mereka satu sekolah terus dari SD sampai SMA.
Aku sendiri belakangan baru menyadari, ternyata sahabat Yusuf itu memang ganteng. Waktu itu aku ke rumahnya mengantarkan gulai kepala kakap merah pesanan ibunya. Kebetulan sang ibu sedang pergi.
“Maaf, saya mau mengantarkan pesanan Ibu,” kataku ketika Andra keluar menemuiku.
Kulitnya bersih, tubuhnya tinggi, dan lumayan tegap. Kalau berdiri sejajar dengannya, aku setinggi lehernya. Huhu, padahal dia baru kelas dua SMA, sementara aku sudah hampir lulus kuliah.
“Oh iya ... Sebentar, silakan, Mbak .…”
“Laili,” kusebut namaku. Kupikir dia sudah tahu. Bukankah dia sahabat Yusuf?
“Ya, Mbak Laili duduk dulu saja. Nanti saya ambilkan uangnya.”
“Ngg … nggak apa-apa, kalau uangnya belum, dititip nanti saja lewat Yusuf.” Aku mendadak grogi berada di teras rumah besar itu. Iya betul, Andra ganteng sekali. Sepanjang pengetahuanku soal yang namanya cowok ganteng, hingga aku nyaris jadi sarjana begini, baru kutemukan yang seganteng dia, dalam dunia nyataku.
Hehehe, norak ya?
“Sudah dititip ke saya kok, Mbak. Sebentar ya?”
Tanpa menunggu jawabanku, dia melesat ke dalam rumahnya, meninggalkan aku yang kini sibuk senyum-senyum sendirian. Deeeu, si Laili naksir berondong, euy!