Bukan Cinderella

Noura Publishing
Chapter #3

Ruang Sunyi

Istri yang Kasmaran

Halo, selamat pagi. Aku masih Laili yang dulu, yang tiga bulan lalu menikah dengan RM Mahendra Prabowo. Istri sahnya secara hukum negara dan hukum agama, tapi bukan istri di hatinya. Ya, kami masih seperti sepasang sahabat atau malah hanya teman.

Kami masih tidur di kamar terpisah, dan kadang melakukan aktivitas juga di ruang yang berbeda. Hanya sesekali kami sama-sama diam membaca di ruang perpustakaan rumahnya yang besar. Ya, dia menempati rumahnya sendiri begitu kami menikah.

Sebisa mungkin, aku melayaninya sebagai istri, meskipun dia tak pernah meminta. Aku melayaninya makan, menyiapkan bajunya sebelum berangkat ke kantor dan sepulang kantor. Aku berusaha mengurus semua keperluannya. Bahkan mendampinginya dalam banyak acara.

Namun agaknya, dia belum bisa menumbuhkan perasaan apa pun di dalam dirinya untukku. Sementara, aku sudah telanjur mencintainya. Bahkan amat mencintainya. Apa lagi yang bisa kumungkiri? Dia tampan, gagah, saleh, pintar (bahkan terasa seperti kamus berjalan bagiku), tegas, dan baik. Tapi, dia tetap amat tertutup kepadaku. Dia lebih banyak diam kalau kami sedang bersama. Padahal aku juga tak terlalu banyak omong. Jadilah kami sepasang suami-istri yang bisu.

Kurasa aku bisa gila kalau begini terus. Bagaimana bisa, aku belingsatan jika berada di dekatnya. Sementara dia kaku bagai patung, tanpa ekspresi apa pun kepadaku. Huaaaa, aku tahu pedihnya bertepuk sebelah tangan, tapi ini lebih sakit lagi, mengingat kami sebenarnya sepasang suami-istri yang sah.

Malam itu, dia pulang dari kantor dengan wajah yang sangat kuyu. Kukira tadinya dia pulang naik busway, bukan naik Mercy birunya seperti biasa.

Seperti biasa, aku menyambutnya pulang dan mencium punggung tangannya.

“Masya Allah, kamu panas banget, Ndra.”

“Cuma pusing sedikit, kok. Ada teh panas?”

“Aku buatkan dulu, ya.”

“Kalau gitu, aku mau mandi dulu.”

“Ya udah, kusiapin dulu, ya.”

Dengan cekatan, kubuatkan teh panas untuknya. Air panas di bath tub-nya segera kusetel seakurat mungkin, sehingga jadi suam-suam kuku. Kulihat dia sudah berbaring di kasurnya. Kusiapkan baju tidur dan handuknya. Sempat juga aku berpikir, aku ini istri atau pelayannya, ya? Tapi kutepuk sendiri jidatku, bukankah aku sendiri yang senang melakukannya?

“Kalau mau mandi sekarang, sudah siap. Buru-buru ya, nanti kamu tambah masuk angin.”

Dia mengangguk dan segera masuk ke kamar mandi di kamarnya.

“Lai, kamu jangan keluar dulu, dong. Habis mandi, aku mau minta tolong digosok minyak angin, ya,” ujarnya sebelum masuk.

Hah? Menggosokkan minyak angin? Memangnya aku dukun pijat? Tapi, ya sudahlah.

Sambil menunggu dia selesai mandi, aku iseng memindah-mindahkan channel TV kabel yang ada di kamarnya. Aku berhenti di channel HBO. Adooow, kenapa pula pas adegan film yang beginian? Tujuh belas tahun ke atas, sepasang manusia kissing … Uhuhuhu, aku panik dan buru-buru pindah channel.

Kenapa mesti panik, Lai? Kamu kan sudah menikah. Iyaaa, tapi pernikahanku kan aneh gini. Aku hanya takut terbawa khayalanku sendiri, yang sekarang saja suka melantur ke mana-mana, sementara suamiku, boro-boro deh. Melirikku saja dia ogah!

Tapi, setan memang pintar, ya? Atau si Laili yang dodol? Lagi-lagi aku berhenti di channel tadi. Aku terdiam lama. Huhuhu, ada sesuatu yang menangis di dalam diriku. Permainan macam apa yang sedang kami lakukan sebenarnya, sih?

“Lai …”

Astaga! Aduuuh …

Aku kaget dan nyaris melemparkan remote di tanganku. Andra sudah selesai mandi. Duh, entah sejak kapan dia selesai. Pastinya dia sudah menangkap yang kutonton dengan tatap mata kosong itu. Malunyaaa .… Segera kurasakan wajahku menghangat.

Parahnya, sewaktu aku berpaling kepadanya, pemandangan yang kulihat malah memperparah kondisi hatiku. Ampun, Tuhaaan. Dia tengah menatapku seperti menilai.

“Tolong sekarang ya, Lai,” katanya.

Ya ampuuun. Mengapa begini ujian untukku?

Dengan kaku, aku mulai mengoleskan minyak angin di punggungnya. Aku tak berani menebak perasaannya saat ini.

“Pegal-pegal semua, Lai, kayak abis membajak sawah seharian,” keluhnya.

“Ya sudah, istirahat yang banyak. Besok nggak masuk juga nggak apa-apa kali.”

“Minta tolong pijatin, bisa?”

Ya Tuhaaan .…

Perlahan aku memijatinya. Aduuuh, kalau saja dia tahu, betapa hatiku sudah tak sama lagi bentuknya.

“Kamu jago mijat juga, ya?”

“Uhm … masa?”

“Kamu belajar di mana?”

“Aku bukan lulusan sekolah pijat-memijat, Ndra. Belajar secara alamiah, pasti. Dulu almarhum ibuku suka sekali sama pijatanku.”

“Iya. Lembut, tapi mantap.”

Duh, sumpah, aku tersanjung. “Thank you …”

“Merah-merah nggak, Lai?”

“Iya. Kamu masuk angin betulan.”

Dia tertawa. “Masa bohongan sih? Lha wong badanku panas begini.”

Tanpa sempat kuantisipasi, dia berbalik dan menyangga kepalanya dengan satu tangan. Ampuuun. Jangan sampai aku kelihatan norak deh. Refleks kupalingkan wajahku.

“Cepat pakai bajumu, ya? Nanti tambah masuk angin lagi. Kamu mau makan di sini atau di ruang makan?”

“Di sini saja. Tolong bawakan, boleh?”

“Ya. Tapi, aku mau nonton di kamarku saja.”

“Nonton film yang tadi?” tanyanya membuatku langsung kembali merah padam.

Kulirik dia, yang anehnya, tetap tanpa ekspresi. Kok bisa?

“Nggak. BBC Knowledge kok.”

“Di sini saja, temani aku makan.”

Lah, nggak salah dengar? Tumben.

“Kamu sudah makan? Belum, kan?”

“Ya, belum sih. Tapi aku kenyang, tadi sore jajan somai yang lewat di depan.”

“Temani aku, nggak apa-apa, kan?”

“Ya, nggak apa-apa, Ndra.”

Jadilah malam itu aku menemaninya makan sambil nonton BBC Knowledge. Aku baru tahu, kalau dia manja. Maklumlah anak tunggal, cucu pertama, dan “putra mahkota”. Dia mengeluh tenggorokannya sakit dan agak susah menelan. Aku bingung, mau diapain, ya? Buntut-buntutnya dia minta disuapi. Astagaaa! Kayak bayi. Aduuuh, untung dulu si Yusuf nggak kolokan gini, ya?

“Sorry kalau aku merepotkanmu, Lai.”

“Never mind. Apa kamu juga dulu begini sama Ibu?”

Dia tertawa malu. “Ya begitulah. Tapi, sekarang kan ada kamu, Lai.”

Aku terdiam. Berusaha mereka-reka sendiri maksud perkataannya itu.

“Makannya sudah?” tanyaku sekadar menutupi kecanggungan kami.

“Ya. Terima kasih, Lai.”

“Sama-sama. Aku angkat ke dapur, ya, sekarang?”

“Panggil Mbok saja. Atau taruh tray-nya di luar kamar, nanti Mbok yang akan mengambilnya.”

Aku segera mendorong tray itu ke luar.

“Lai, kamu di sini saja, ya?”

What? Aku ngapain di situ, dari tadi juga dia jarang ngomong.

Meski manyun, tapi kupenuhi juga permintaannya itu. Aku duduk di sisi ranjangnya, sedangkan dia berbaring nyaman. Dan aku juga tak tahu, siapa yang memulai tahu-tahu dia sudah menggenggam jemariku. Hangat, meskipun tangannya terasa dingin dan membuatku ingin membalasnya.

“Ndra, kamu harus istirahat biar cepat sembuh. Aku juga udah ngantuk. Aku permisi, ya, mau pulang ke kamarku,” ujarku ketika melihat jam dinding menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

“Kamu tidur di sini, ya, malam ini. Mau?”

Hah? Hah? Waduuuh …

“A-aku tidur di bawah saja …” Aku jadi panik sendiri.

“Di sini, jangan di bawah. Nanti kamu yang malah sakit.”

“Ih, ka-kamu kan biasa tidur sendiri?”

“Aku … meriang, Lai …”

Kutemukan kini wajahnya yang merona. Entah karena meriang betulan atau karena malu oleh perasaannya sendiri. Tapi ketika aku meraba dahinya, dia memang panas, sementara genggaman jemarinya begitu dingin.

Setelah pamit sebentar untuk gosok gigi dan ganti baju, aku datang lagi, sambil membawa sajadah dan mukena.

“Bagus, Lai, kita sekalian shalat Isya jamaah, tadi aku belum shalat juga,” ujarnya senang.

Waktu mau tidur, aku bingung sendiri. Gimana caranya? Sementara hatiku belingsatan nggak penting dan menyebalkan, dia berbaring dan mengisyaratkan menunggu.

“Aku di bawah juga nggak apa-apa, kok,” ujarku sambil menelan ludah. Bingung.

Dia menepuk-nepuk bantal di sebelahnya. Aku jadi malah menciut. Bismillah. Ragu kurebahkan tubuhku di sisinya. Sungguh sebuah rumah tangga yang janggal, bukan?

“Laili,” bisiknya, mengagetkanku. Sepertinya kalau begini terus, aku bisa mati jantungan karena saking seringnya kaget.

“Ya, kenapa, Ndra?”

Dia menatapku dalam, membuatku kembali jantungan.

“Bo-boleh aku … memelukmu?”

Huaaa …. Nggak mungkin juga kan aku bilang nggak boleh?

Aku mengangguk dan membiarkan dia melingkarkan lengannya yang kukuh di tubuhku. Ya Allah, nyamannyaaa .… Dia menghadapkan wajahnya ke arahku, membuatku merasa merinding. Andaikan dia memelukku dengan seluruh jiwanya, bukan hanya karena dia sedang sakit dan membutuhkanku .…

Tak lama kemudian, aku sudah mendengar dengkur halusnya. Lembut kuusap wajahnya dengan jemariku. Jangan sampai dia bangun deh … terbayang malunya diriku!

Sungguh sebuah kisah cinta yang aneh .…

Suami yang Menilai-nilai

Adakah suami-suami di luar sana yang “bernasib” seperti saya?

Perkenalkan, nama saya Andra. Saya adalah seorang laki-laki biasa, yang baru saja menjadi suami seorang perempuan biasa bernama Laili. Kata orang, saya kelihatan serius. Mungkin bukan serius sebenarnya, tapi malu-maluin. Hehehe, iyaaa, lebih kurangnya begitu, saya pemalu. Apalagi kalau menyangkut cewek atau perempuan. Bukan, bukan menyangkutkan tangan saya dengan mereka, karena sumpah, saya sebenarnya nggak berani menyentuh mereka.

Jangan bilang saya alim atau religius atau apalah. Saya juga baru tahu kemudian, pas ikutan ngaji di kampus bareng sahabat saya, Yusuf, yang sebetulnya lebih cocok saya sebut sebagai partner in crime. Iya, saya baru tahu kalau Rasul kita yang agung, nggak pernah mau menyentuh kulit perempuan yang bukan mahramnya. Hehehe, maklumlah, saya dibesarkan di keluarga muslim berstatus “biasa saja”, abangan nggak, santri juga jauh. Jauh dekat bayar seribu perak, kayak angkot. Hehehe.

Iya, demikianlah, sebenarnya saya berbakat melawak. Saya cenderung lucu kalau sedang bersama orang-orang yang membuat saya nyaman, kayak ayah dan ibu saya, juga si Yusuf yang suka saya pelesetkan menjadi si Kuncup Bunga Berkembang di Musim Semi. Saking lamanya saya bersahabat dengan anak dodol satu itu, saya bahkan sempat mengira saya dan dia soulmate-an. Menjijikkan memang membayangkan soulmate kita adalah manusia yang sejenis. Tapi, begitulah akrabnya kami.

Sejak dulu saya bermasalah dengan perempuan. Belum-belum wajah ini sudah meronaaaa saja kalau berdekatan dengan kaun hawa itu. Begitu juga si Yusuf. Kalau dia sih sebenarnya lebih karena dalam sepanjang sejarah hidupnya hampir nggak ada cewek yang berminat kepadanya. Nggak tahu saya, apa dosanya. Mungkin karena dia agak lebih pede dari saya dengan mengakui bahwa dirinya ganteng. Padahal, kalau diukur dengan skala kegantengan, saya jauuuuh di atas dia dalam urusan yang ini. Tapi sudahlah, mari kita berikan applause yang meriah buat Kang Ucup Marucup!

Kalau kalian semua ingin tahu, saya sejatinya hanya kenal dekat dengan dua perempuan, yaitu ibu saya (yang sumpah bener, saya idolaiiin banget) dan sepupu saya, si Peggy. Nama sebenarnya Pegiani Puspita, tapi saya suka kepeleset memanggil dia Piggy Puss. Heran, nama kok nyerempet dua nama hewan? Secara tidak resmi, panggilannya di keluarga besar kami adalah Pepey.

Ibu saya adalah perempuan yang paliiing saya sayangi di dunia ini. Ibaratnya, kalau Ibu minta saya ngambil duren di kandang macan, tanpa pikir panjang saya akan bersedia … bersedia kabur, maksud saya. Gila aja lo, ngambil durennya aja susah, ini di kandang macan pula! Ibu saya adalah perempuan bangsawan Sunda keturunan Kerajaan Sumedang Larang, yang kayaknya sih, masih saudara jauuuh Dyah Pitaloka, putri Kerajaan Pajajaran yang cantik jelita itu, dan juga masih tetanggaan sama Neng Rossa, penyanyi asal Sumedang yang juga cantik jelita. Hehehe … tetanggaan kecamatan maksudnya!

Ibu saya cantik juga (tentu! Dari mana saya jadi ganteng begini kalau bukan turunan ayah dan ibu saya?). Dia juga lembut dan selalu memanjakan saya. Meski nggak bisa masak dan menjahit, Ibu selalu berusaha mencukupi kebutuhan sandang dan pangan saya, sehingga saya tumbuh menjadi anak sehat dan ganteng (lagi!). Ibu jugalah yang selalu berusaha memancing saya (ikan?) untuk curhat kepadanya. Anehnya, saya nggak pernah bisa curhat serius sama beliau. Soalnya, ya itu dia, saya maluuuu …

Lalu, saya curhat sama siapa, dong? Si Kuncup?

Waaaa, nggak banget ya curhat sama dia. Curhat iseng sih iya. Kalau curhat serius mah sama aja curhat sama Parto kali. Yang ada kita nggak bakalan pernah serius ngomongin satu hal, ngelawaaak melulu.

Ya, demikianlah, kami berdua yang kontradiktif. Di luar tampak serius, baik, dan benar. Di dalam hancur, buruk, dan (kayaknya sih) salah.

Lalu, di mana peran Pepey?

Ya, sebagai salah satu pengacau keamanan yang turut menyemarakkan hidup saya, Pepey adalah teman main sejak kecil. Biar kata dia cewek, tapi tomboinya bisa ngalahin saya. Soal main bola, dia jago basket, volley, aikido, hingga manjat pohon dan ngabur dari sekolah lewat lubang tikus. Kalau saya mah anak baik, mana mau kabur dari sekolah! Sayangnya, pas lulus SD (oh iya, kita nggak pernah satu sekolahan kok. Malu-maluin aja, masa saya juara kelas gini bisa-bisanya satu sekolah sama master madol kayak dia!), dia pindah ke Bandung, tepatnya dekat Cisangkuy, pusat yoghurt. Ini jelas membawa kesialan bagi saya, yang benci susu dan segala produk turunannya, sebab si Pepey hobi banget ngirim yoghurt buat saya. Saya curiga, jangan-jangan sekarang tu anak minumannya sudah bukan air putih lagi, tapi yoghurt!

Tapi, setelah dia di Bandung pun, curhat-curhatan kami malah tambah lancar. Kami bisa ngabisin berlembar-lembar surat, berlembar-lembar billing tagihan telepon (karena saking hobinya inlok Jakarta-Bandung pulang-pergi), dan kemudian berlembar-lembar kartu voucher HP buat ngobrol. Usia kami yang sebaya malah membuat saya nekat menganggapnya adik. Ya bener, kan, adik sepupu. Emaknya adik tiri ibu saya.

Nah, repotnya lagi, si Pepey punya cita-cita keliling dunia. Ini dibuktikan dengan kuliah S1 di Jepang, dan S2 di Jerman. Mungkin S3 di Jayapura, ya (kan dari J semua, peratiin deh!). Makin boros aja ongkos curhatnya, euy.

Nah, waktu saya proses sama istri saya yang sekarang ini (jadi, duluuu saya pernah punya istri, ya? Hehehe), si Pepey baru aja seneng-senengnya jadi mahasiswa magister teknik informatika di Karlsruhe Uni di Jerman sono.

Nah (ampuuun vocab saya emang parah!), istri saya adalah perempuan yang “baru” dalam hidup saya, meski nggak baru-baru amat. Dia kakak si Kuncup yang diam-diam suka saya lihatin kalau pas saya main ke rumahnya. Orangnya lumayan cantik, kecil mungil, hidungnya mancung, kulitnya putih, dan rambutnya bergelombang, rada pirang gitu. Maklum, mereka turunan Arab-Jawa gitu. Dia juga pintar masak dan jahit, juga beberapa macam keterampilan lain. Soalnya kalau ada tugas prakarya, kami (saya dan Ucup) suka order ke dia. Dan dia selalu menyelesaikannya dengan indah sekali sehingga kami ketiban berkahnya, dianggap sebagai anak-anak terampil. Nggak heran, nilai prakarya kami pasti 9.

Laili ini lembut banget, meski juga kadang kumat lucunya. Sebetulnya dia periang, terbukti dengan seringnya saya mendengar dia bersenandung sambil masak, kalau saya pas main ke rumahnya. Bukti lainnya adalah dia penggemar film kartun SpongeBob Squarepants, terutama pas bagian si Squidward ketawa … hag hag hag, gitu. Tapi, kalau sudah menghadapi saya, dia jadi sok cool (apa emang cool betulan, ya?), mungkin karena dia menganggap saya geng adiknya, jadi dia harus menjaga wibawa. Salah, kan? Seharusnya dia menjaga adiknya, bukan menjaga si Wibawa.

Jadi sebenarnya saya juga nggak jelas, apakah saya sudah naksir Laili sebelum menikah? Maybe. Maybe yes, maybe not. Maybe yes, karena saya suka melihatnya tersenyum dan melayani Ucup dengan sabar, sementara sahabat saya itu belagunya minta ampun. Saya jadi menyamakannya dengan ibu saya yang juga sabar melayani saya dan Ayah. Buntut-buntutnya, saya kepingin punya istri yang sejenis Laili dan Ibu, bukan yang kayak si Pepey.

Maybe not, karena, gile aje lu, dia lima tahun lebih tua dari saya. Nanti gimana kalau dia udah nenek-nenek sementara saya masih ganteng dan gagah? Iya sih, bisa kawin lagi. Tapi, apa dia ngizinin? Wkwkwk, kejauhan amat ya ngomongnya?

Tapi, mau gimana lagi?

Agar melestarikan tradisi di keluarga besar saya yang aneh itu, dan agar saya juga selamat dari kemungkinan menikahi cewek lain yang jauuuh lebih aneh, maka saya menerima saja proses perjodohan yang diatur Ayah dan Ibu, especially Ibu yang sudah cinta mati sama dia.

Sebenarnya saya belum siap menikah, apalagi menikahi Laili. Apalagi pada saat itu, hati saya juga tiba-tiba terpikir pada hal lain yang tadinya boro-boro saya pikirin, terlintas aja enggak. Tapi, ya sudahlah, mungkin setan aja pada rese.

Menikahlah saya dengannya, bersamaan dengan syukuran si Ucup, yang kini dengan bangga ngaku-ngaku sodara sama saya. Sumpah, tadinya saya bingung, mau manggil apa sama istri saya? Masa mbak sih, kan udah jadi istri? Tapi, panggil nama doang juga kurang ajar banget ya, secara dia umurnya jauh lebih tua dari saya. Jadilah saya canggung gitu.

Jadi, sekarang ini saya sebenarnya masih bimbang dan bingung. Apa sih sebenarnya yang saya mau? Sementara saya juga mulai merasa nyaman di dekatnya.

Hari ini saya nggak ngantor. Saya panas-dingin. Gara-gara panas-dingin itu juga, saya menggigil dan minta dimanjain sama dia. Semalam saya baru bisa tidur setelah memeluknya, hangat aja gitu. Mungkin dia sejenis Teddy Bear dalam impian masa kecil saya?

Habis subuh, dia sudah mandi dan kelihatan segar. Wangi bebungaan yang lembut membelai hidung saya waktu dia menemani saya sarapan. Mukanya datar, kayak nggak terjadi apa-apa, padahal semalam kami “bersentuhan mesra” buat yang pertama kalinya.

Dia melayani saya makan dan minum obat setangkas suster-suster di rumah sakit atau pramugari di pesawat. Saya bingung juga, sebenarnya dia punya perasaan nggak sih ke saya? Kenapa kayaknya dia cool banget gitu, sementara saya kan baru mau menumbuhkan perasaan saya ke dia? Mbok ya dia bantu saya gitu lho, secara saya juga orangnya pemalu.

Saya berdeham, meminta perhatiannya yang lagi sibuk mengoles roti dengan mentega pakai pisau.

Dia mendongak, menatap saya yang duduk tepat di depannya.

“Terima kasih, ya, semalam,” ujar saya, kaku pasti.

Dia menyunggingkan senyum berlesung pipitnya yang saya suka.

Lihat selengkapnya