Kilau mentari masih betah memicingkan mata. Wajah langit putih bersih dilantak awan yang berarak. Lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an terbang mengangkasa. Aksen coklat bergaris putih mewarnai petak-petak jalan. Kontras dengan kawanan pohon palem yang berjejer hadap-hadapan. Susunan batubata kemerahan membentuk sebuah bangunan. Terkesan khas Eropa nan menawan. Di Masjid Jamek Sultan Abdul Samad ini, aku biasa mencari sandaran.
Aku semakin dekat dengan pintu masjid. Beberapa wanita berjubah merah menarik perhatianku. Bukan karena mereka asing di mataku, tapi karena aku selalu penasaran dengan yang mereka pikirkan. Sebagian besar mereka adalah non muslim yang dengan senang hati menutup aurat dengan jubah hoodie. Dua orang wanita duduk di pinggir kolam, berbincang sambil melihat sekeliling. Tak jauh dari mereka, seorang wanita sedang mengamati bangunan masjid dari dekat. Tepat di depanku, seorang wanita berkacamata mengajak bicara seorang muslimah. Wanita berpakaian takwa itu meladeninya tanpa canggung. Bule bersepatu sport itu terlihat bertanya tentang masjid ini.
“Hayya ‘alashsholaah..hayya ‘alashsholaah,” suara muadzin memanggil tubuh lelahku untuk segera bangkit dan berwudhu’. Kalau bukan karena mendengar azan, aku masih ingin duduk di pinggir kolam persegi banyak ini. Kutegakkan tubuhku demi mendengar seruan Tuhanku. Aku tak mau terlambat menyembahNya. Kubasuh wajah dan kedua tanganku perlahan. Kunikmati aliran air yang menyusupi pori-pori kulitku. Membersihkan debu yang menghinggapinya dan meluruhkan penat yang memberatkannya.
“Hayya ‘alal falaah.”
Aku sudah berdiri tegap saat iqamat dikumandangkan. Wudhu’ yang sempurna mengalirkan energi magis ke seluruh tubuhku. Bersama belasan muslimah lainnya, aku siap menghadap Allah dengan segala gundah hati yang kupunya. Aku pun siap memenangkan permainan dunia ini. Asal Allah yang Maha Kuasa selalu membersamaiku di setiap keputusan. Keyakinanku selalu.
Tasbih masih menempel di jariku saat alarm handphoneku menunjukkan angka dua. Kusentuh layar berlabel ‘dismiss’ untuk mendiamkannya, lalu kumasukkan ke dalam ransel putihku. Kukemasi mukena masjid yang kugunakan dan kukembalikan ke tempatnya semula. Jilbab biru muda sudah rapi membungkus kepalaku. Gamisku yang berwarna senada pun sudah siap menemani perjalanan. Kutimang ranselku keluar masjid dengan semangat baru. Sejurus kemudian, tas itu sudah menempel di punggungku. Nyaman dalam gendonganku. “Allaahummaghfirlii dzunuubi waftah lii abwaaba fadhlika.” Kuayunkan kaki kiri saat keluar meninggalkan masjid. Semangatku bangkit lagi.
Aku hampir terlambat menemui Prof Mustafa di kantornya. Trem yang kunaiki memang tidak bermasalah. Tapi seorang ibu yang duduk di sebelahkulah yang membuat ulah. Anak kecil di sampingnya tak berhenti merengek. Tak tega melihatnya, kutawarkan bantuan yang mungkin bisa kuberi. Ibu itu meminta izin memakai handphoneku untuk menghubungi keluarganya.
Sambil menelepon, ia menggoyang-goyangkan kakinya naik turun. Anak kecil yang kini duduk di pangkuannya berangsur tenang. Tapi ibu itu belum juga selesai menggunakan handphoneku. Aku mulai panik dan memberi aba-aba. Kulayangkan senyum ke arahnya sambil menunjuk handphone itu. Kugenggam jari-jari tangan kananku menyisakan jempol dan kelingking. Lalu kuayunkan ke telinga kananku memperagakan orang yang sedang bertelepon. Ibu itu hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk.
Aku hampir putus asa. Kusandarkan kepalaku ke dinding trem seraya menghembuskan nafas pertanda kesal. Kututup mata sekilas untuk menenangkan diri. Saat kubuka mata, ibu itu sudah ada di depanku dengan senyum malu sambil menyerahkan handphoneku. Dugaanku, ibu itu adalah turis Indonesia yang baru pertama kali ke Malaysia. Kubalas senyumnya dengan senyum simpul.
“Makasih ya. Keenakan tadi ngobrolnya. Maklum saya masih pertama ke sini.”
“Sama-sama, bu. In syaa-allah liburannya menyenangkan ya,” balasku tulus.
“Oh bukan liburan kok. Nemenin mertua berobat. Tapi ya sambil jalan-jalan juga,” timpalnya dengan semangat.
“Oh,” jawabku seadanya. Aku langsung fokus dengan handphoneku dan tak mau berurusan lebih jauh.
Setengah kaget kubaca sebuah pesan dari Prof Mustafa. Pesannya mengkonfirmasi apakah aku jadi menjumpainya siang ini. Bila tidak, ia sudah ada janji dan akan langsung ke hotel menemui seorang kolega. Kulihat waktu pesan itu dikirim, 14.17. Dan sekarang sudah 14.30. Aku bingung ingin membalas atau tidak. Jelas ia sudah menunggu lama.