Bukan Cinta Picisan

Nur'afifah Hasbi Nasution
Chapter #2

Getar yang Tak Sampai

Lima hari menghabiskan waktu di kamar, rasa bosan menyergapku. Aku rindu kampus, diskusi, presentasi, buku, perpustakaan. Ya, aku ingin ke perpustakaan. Bercengkerama dengan teman-teman pilihan di sana. Kutinggalkan novel yang masih kubaca setengah. Pesona ribuan buku tak mungkin bisa mengalahkan sebuah novel mahakarya sekalipun. Kutungkupkan novel itu di atas kasur dengan keadaan terbuka tepat di halaman yang sedang kubaca. Aku bergegas mengenakan gamis abu-abu dengan liris putih dan aksen pita di lengannya. Kupilih jilbab broken white dan kulilitkan seadanya. Aku tidak terlalu memikirkan penampilan karena ingin segera sampai.

Mahasiswa lalu lalang keluar masuk perpustakaan. Seorang mahasiswa keluar dari perpustakaan sambil berbincang lewat telepon. Mahasiswi berjilbab pink di sebelahnya sibuk membolak-balik sebuah buku. Keduanya celingukan mencari sesuatu di buku itu. Mahasiswa yang masih terus bicara itu lalu menempelkan telunjuk kirinya di atas buku. Mereka sumringah seperti telah menemukan harta karun. Mahasiswa itu mengangguk-angguk dengan senyum lebar. Sesaat kemudian, handphonenya sudah masuk ke saku celana sebelah kanan.

Tinggal di lingkungan kampus sangat mendukung suasana akademisku. Jarak asrama yang tidak terlalu jauh dari perpustakaan, membuatku akrab dengan rumah buku itu. Hampir tak ada pekan yang kulewatkan tanpa mengunjunginya. Singgah beberapa menit atau menetap hingga dua-tiga jam.

Kumasukkan tasku ke loker di dekat pintu masuk perpustakaan. Seorang mahasiswi berambut pirang menjatuhkan dompetnya di dekat kakiku. Kutundukkan tubuh untuk mengambil dompet itu. Kepalaku beradu dengan kepala mahasiswi bule itu. Kupersilahkan ia mengambil sendiri dompetnya dan akupun berlalu. Aku tak sabar membuka jendela dunia.

#

Assalamu’alaikum, Alisha.”

Wa’alaikumussalam warahmatullah,” jawabku sambil terus mengetik. Aku masih duduk tanpa memandang wajah si pemberi salam.

Wabarakaatuh. Kok setengah-setengah sih.” Terdengar suara yang diselingi tawa geli. Kuangkat kepala untuk melihat lawan bicaraku. Ternyata Irfan Syaukani, teman sesama mahasiswa asal Bandung. Ia sedang mengambil pendidikan master di bidang komunikasi. Irfan digadang-gadang akan menjadi pendakwah tenar sepulang ke tanah air nanti.

Selama Ramadhan tahun lalu, kami sering diimami sholat Tarawih olehnya. Saat lebaran, ia pun mendapat undangan mengisi khutbah Idul Fitri di sebuah masjid di Bandung. Bibit ustadz tumbuh subur di dirinya. Kata teman-temanku, dia adalah suami idaman. Anehnya, meski banyak yang diam-diam mengidolakannya, aku tak pernah menganggapnya istimewa. Aku justru seringkali merasa risih bila ia tiba-tiba ada di sampingku. Atau sekonyong-konyong sudah mengisi kursi kosong di depanku. Kehadirannya lebih sering menghadirkan ketidaknyamanan di hatiku.

Sekarang misalnya. Saat teras masjid kampus masih sepi. Ia justru membersamaiku di teras belakang masjid. Beranda masjid menuju tempat sholat kaum wanita. Kubenarkan posisi dudukku. Kumundurkan tubuhku. Kandas, aku sudah menempel dengan dinding dingin masjid. Irfan berdiri di hadapanku. Kami berjarak tak lebih dari sepuluh langkah orang dewasa. Sekeliling teras kosong. Hanya ada tiga orang akhwat yang sedang berbincang di halaman masjid tak jauh dari kami. Suara dari dalam masjid menandakan ada muslimah yang sedang membaca al-Qur’an di sana. Kusenyumi Irfan tanpa kata. Melihat tatapannya, aku risih bukan main. Dalam hati, doaku kencang memohon agar ia segera berlalu.

“Sibuk ya? Oya, ana dengar Alisha jadi wisudawan terbaik ya? Mabruk[1] ya. Ana ikut bangga.”

Alhamdulillah,” jawabku sekenanya dengan senyum yang dipaksakan. Pihak kampus mengabariku kemarin pagi via telepon. Ternyata kabar itu sudah sampai kemana-mana. Nadia dan teman-teman seasrama juga sudah tau. Mereka turut berbahagia. Terutama teman-teman setanah air. Pemilihanku sebagai mahasiswa terbaik mereka anggap telah mengharumkan nama bangsa. Maka aku tak mau asal-asalan menyiapkan pidatoku.

“Nanti keluarga datang kan?”

In syaa-allah,” timpalku seraya melirik Irfan sekilas. Langsung kutarik pandanganku dan menunduk sambil menekan-nekan keyboard laptop. Aku tidak sedang menuliskan kalimat panjang. Kata-kata sederhana pun tak mampu kuhasilkan. Jemariku sibuk menekan tuts tapi yang tertulis hanyalah kumpulan huruf dan angka yang tak bermakna. Aku kehilangan konsentrasi. Mata Irfan tak lepas memandangiku. “Ya Allah,” lirihku dalam hati.  

“’Afwan mengganggu. Sebenarnya ana sedang menunggu teman yang minta dibenarkan bacaan al-Qur’annya. Alhamdulillah Allah beri ana kepahaman.”

“Iya, alhamdulillah. Oh gak kok. Maaf juga kayak gak respon. Ada yang harus diselesaikan.”

Maafi musykilah.[2] Ana ngerti, muslimah hebat memang selalu sibuk. Ana pamit ya. Itu teman ana sudah datang,” katanya kemudian. Kuanggukkan kepala dengan senyum simpul mengantar kepergiannya. Irfan tetap dengan senyum sumringahnya bersama tatapan mata yang tak kusuka. Dibenarkannya kopiah putih yang bertengger di kepalanya sambil berlalu dari hadapanku. Kutarik nafas panjang lalu kubuang perlahan. Mataku kembali fokus ke monitor laptop. Kublok dua baris tulisan dan seketika kutekan tombol ‘Delete’.

#

Matahari pagi terbit dengan penuh kehangatan. Sinarnya masuk ke kamarku lewat celah-celah jendela yang tertutup gorden. Sesekali hembusan angin menerbangkan kain putih bermotif bunga-bunga itu. Sinarnya menerpa wajahku dan memicingkan mataku. Menghangatkan sekaligus menyilaukan. Kuciumi kaos biru muda yang bertuliskan ‘Nevada’ di bagian bawah kanannya. Kaos itu kubeli bersama Dwinda sebelum keberangkatanku ke Malaysia tiga tahun lalu. Aku membeli dua kaos serupa untuk menjadi pengingat rasa di antara kami.

Setiap kali kami bepergian bersama, kami akan mengenakan kaos itu. Begitupun saat aku kembali ke Indonesia, kaos itulah yang melekat di tubuhku dan tubuh Dwinda yang sudah menantiku. Kami berjanji untuk tidak mengenakannya sendiri-sendiri. Jam sepuluh nanti, mamah, papah, dan Dwinda akan sampai di Kuala Lumpur. Semenit yang lalu, mereka menghubungiku bahwa mereka sudah dalam perjalanan menuju bandara. Dwinda juga mengingatkanku untuk mengenakan kaos simbol sisterhood di antara kami itu.  

“Teh, jangan lupa pake kaosnya ya. Dwinda udah pake ni. Agak sempit sih, tapi gak papa lah. Yang penting sisterhood. Ya gak? Oya, teh. Ntar kita beli baju samaan baru aja ya di KL. Udah hampir expired nih bajunya.” Suara Dwinda terdengar samar-samar.

Lihat selengkapnya