Aku meminta Nadia melihat-lihat kamarku selama aku di Indonesia. Aku akan berlibur hingga dua bulan ke depan, sebelum tahun ajaran baru dimulai. Pilihanku sudah mantap untuk menerima tawaran Prof Mustafa, tapi aku masih ingin mendiskusikannya dengan mamah, papah, dan Dwinda. Bagaimanapun, pendapat dan restu mereka penting bagiku. Papah selalu membiasakan kami berdiskusi untuk setiap keputusan.
Aku tak mau mengganggu waktu liburan mereka di negeri jiran ini. Bagi Dwinda, ini adalah kunjungan pertama ke luar negeri. Mamah dan papah juga baru kali ini bisa menetap lama di sini, dua kunjungan lalu tak lebih dari tiga hari. Berdiskusi untuk memutuskan hal besar tentu akan menyita pikiran. Aku tak mau urusanku mengacaukan masa senang-senang mereka. Itulah mengapa aku tak pernah menyinggungnya sedikitpun.
Aku, mamah, papah, dan Dwinda sudah sampai di bandara tiga jam sebelum keberangkatan. Kami sengaja datang lebih awal untuk mengelilingi bandara. Landasan udara itu menjadi rangkaian penutup jalan-jalan keluargaku. Om Rizal yang mengantar kami langsung bergerak menuju kantornya. Tiket sudah didaftarkan. Barang bawaan kami juga sudah masuk bagasi. Saatnya mengitari bandara internasional ini dari sudut ke sudut.
Dwinda mengajak berfoto hampir di setiap sudut bandara. Mamah dan papah hanya sesekali masuk dalam bingkai kamera handphone kami. Mereka tertinggal jauh di belakang kami, berjalan bersisian. Terkadang kami harus menghentikan langkah untuk bisa kembali beriringan dengan mamah dan papah. Selalu menyenangkan melihat pasangan tak lagi muda berjalan bersebelahan. Merayakan cinta dengan gejolak-gejolak rasa yang lebih halus.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Kami menyudahi acara foto-foto dan menuju musholla. Iqomat baru selesai dilantunkan saat aku menyelesaikan wudhu’. Sedikit tergesa kukenakan mukena dan sarung putih bersulam hijau. Kami shalat berjama’ah dengan puluhan orang yang sudah berjejer rapi.
Jadwal keberangkatan masih setengah jam lagi. Kami sudah menikmati makan siang dan mengabadikan sejumlah pose. Sholat Dzuhur juga sudah ditunaikan secara berjama’ah. Hatiku semakin membuncahkan rasa bahagia menjalani hari ini. Kulirik mamah masih sibuk dengan tasbihnya. Sesaat kemudian, tangannya menengadah dengan mata terpejam. Lengkungan senyum mengukir bibirku mendapati mamah berdoa dengan wajah berseri.
Ekor mataku menangkap tangan Dwinda yang memegang handphonenya dengan kedua tangannya. Mukena putih milik musholla masih melekat di kepala dan badannya. Diamatinya handphonenya lamat-lamat sambil sesekali menekan tombol-tombolnya. Lengkungan senyumku bertransformasi membentuk sampan kecil. Jajaran gigi putihku mengisi replika sampan itu saat Dwinda hampir terjatuh ke belakang. Adikku itu keliru mengukur dinding yang akan disandarinya. Cepat-cepat digesernya tubuhnya ke belakang dan bersandar dengan tenang. Seperti tak terjadi apa-apa. Kualihkan pandanganku pada seorang balita perempuan berkepang dua. Kusapa seadanya sambil mencuil pipi tembemnya.
#
Kini kami siap terbang. Pesawat yang kami tumpangi mulai dipadati penumpang. Satu demi satu kursi juga sudah bertemu penunggunya. Dwinda mematikan handphonenya dan bersiap tidur. Kebiasaannya setiap kali berkendara. Aku masih membalas sebuah pesan singkat dari teman sekelas saat pesan baru masuk. Kubuka pesan dari nomor yang tak dikenal itu.
“Assalamu’alaikum, Alisha. Kaifa haaluk? Ana doakan Alisha dan keluarga selalu dalam lindungan Allah. Hari ini sibuk gak? Orangtua masih di sini kan? Yang bangga padamu. Irfan Syaukani.”
Pesan itu menyentakku. Tapi aku bersyukur Irfan baru mengirim SMS saat aku dan keluarga sudah di dalam pesawat. Allah benar-benar melindungiku. Menyelamatkanku dari sikap dan tatapan anehnya.
Dwinda menggoyangkan lengan kanannya ke lengan kiriku. Lirikannya mengarahkanku pada seorang pramugari yang berdiri di barisan kursi kami. Pramugari berseragam merah itu tersenyum sambil menunjuk handphoneku. Kulihat telepon genggam itu dan langsung menyadari kesalahan. Seketika kumatikan handphoneku dan melemparkan senyum nyengir-tanda-merasa-bersalah pada pramugari yang masih mematung itu. Pramugari itu menempelkan kedua tangannya dan meletakkannya searah dada. Kepalanya menunduk penuh khidmat. Masih dengan bibir berhias senyuman, ia berlalu dari hadapan kami. Burung besi yang menampung kami pun segera take off.
#
Udara sejuk kota kembang membelai kulitku. Angin yang menyapu wajahku seolah rindu dengan mojangnya yang lama merantau ini. Kunikmati sapuan lembut itu dengan memicingkan mata sambil menghirup udara segar di belakang rumah. Kurasakan alirannya menyejukkan hidung dan paru-paruku. Membersihkan sisa-sisa polusi yang mengotorinya. Sudah hari kedua di rumah, aku masih enggan beranjak ke luar. Rasa rinduku pada rumah tempatku dibesarkan belum luruh sepenuhnya. Jiwaku ingin mendekap setiap kenangan yang terukir di setiap incinya.
Dwinda sedang bersiap ke kampus. Hari ini ia akan pulang tengah hari. Ada tugas kelompok yang harus diselesaikannya. Papah sudah pergi ke kantor sejak tadi pagi. Mamah sedang memasak kolak pisang kesukaanku. Bila kepulan asapnya sudah habis, kolak akan didinginkan di lemari es. Sengaja dimasak pagi-pagi agar bisa dinikmati sore nanti.
Dwinda sudah siap ke kampus dengan sepeda motor bebeknya. Aku bangga memiliki adik yang rajin sepertinya. Dimulainya hari dengan membersihkan rumah dan menemani mamah belanja di pasar. Baru lantas bersiap menjalankan aktivitas sebagai mahasiswa. Tak lupa diciumnya tanganku dan mamah sebelum berangkat.
“Dwinda pergi dulu ya, teh. Paling jam duaan udah nyampe rumah lagi kok. Jangan banyakan bengong ya,” pamitnya dengan juluran lidah meledekku. Kujawab pesannya dengan gelengan kepala.
“Assalamu’alaikum,” teriaknya sambil menjalankan sepeda motor.
“Wa’alaikumussalam,” jawabku hampir bersamaan dengan mamah yang sudah berada di dapur.