“Ja, nggak capek main kucing-kucingan terus sama Bapak-mu?”
Uti, anak perempuan bungsu Ibu Haji Oos mengobati lebam di sudut bibir Saija sambil mengomel tanpa henti. Usia mereka yang hanya terpaut satu tahun ini (Uti lebih tua setahun) membuat mereka akrab sejak kecil. Ini bukan kali pertama, sebab Saija selalu enggan langsung pulang ke rumah bila habis berkelahi di sekolah, ia justru menelpon Uti terlebih dahulu lalu bertemu di warung bakso di perempatan kampung dan memintanya membawa obat merah atau salep khusus memar dan bayaran Uti berupa segelas air kelapa atau semangkuk bakso.
Empat tahun lalu, Saija pulang dengan lebam di sudut bibir dan pelipisnya, apalagi penyebabnya kalau bukan berkelahi di sekolah. Saija terkenal sebagai salah satu yang disegani di sekolah, sebab ia jago berkelahi dan pembawaan dirinya yang galak dan tak banyak bunyi, namun tetap saja ada yang nekat menantangnya demi mencapai ‘puncak rantai’ tertinggi perkelahian.
Sekolah Saija memang terkenal diisi oleh anak-anak badung dengan nilai pas-pasan, paling mentok lulusannya tak akan melanjutkan ke jenjang universitas. Sekolah itu juga terkenal karena hobi tawuran dengan SMA atau SMK lain atau bahkan dengan satu sekolah sendiri, sebab semakin banyak perkelahian yang dibuat, maka akan dicap sebagai ‘raja’ yang patut disegani, dipuja, bahkan dilindungi dari serangan-serangan perkelahian lain. Entah siapa yang menciptakan itu.
Saija ikut terjerumus ke dalam rantai tersebut namun bukan atas kemauannya, lagipula untuk jadi raja maupun mencari popularitas bukanlah hal penting, ia melakukan itu sebagai perlindungan diri dan pelampiasan amarahnya yang tak pernah reda, dan gara-gara itu mukanya kembali bonyok tanpa samar-samar.
Muka bonyoknya itu ia dapatkan karena berkelahi dengan kakak kelasnya yang bernama Imran—ia terkenal sebagai jagoan kelas kakap di sekolah itu. Perkelahian terjadi karena masalah sepele, Imran seperti biasanya nongkrong di tangga dengan kawan-kawannya kemudian Saija lewat dan tersandung, kemudian Imran dan kawan-kawannya mengejek habis-habisan tentang sesuatu (perkampungan tempat Saija tinggal memang dihuni orang-orang yang kenal satu sama lain, sekolah Saija pun banyak diisi penghuni dari kampung tersebut) lalu Saija pun terpancing dan langsung melayangkan pukulannya pada si jagoan sekolah itu. Untungnya, perkelahian itu berhasil dilerai guru olahraga, kalau tidak, bisa-bisa muka Saija lebih banyak memar dibandingkan yang didapat hari itu.
“Nggak,” jawab Saija sambil menahan perih salep luka memar yang menetes di sudut bibirnya, “Bapak tampaknya suka.”
“Itu tandanya Bapak udah capek sama kelakuanmu.”
“Kalau aku berhenti, Bapak nanti tidak punya bahan perbandingan.”
Uti menekan-nekan luka Saija dengan setengah menampar. “Itu namanya Bapak sayang sama kamu!”
“Nggak begini!” Saija mengusap-usap lukanya yang ditekan dengan sadis itu. “Kamu mana paham rasanya jadi anak laki.”
“Ya.. memang nggak. Perempuan dan laki-laki sama-sama membawa beban masing-masing kan?” Uti melanjutkan, “Aku pun sering kesal dengan Ibu yang suka membanding-bandingkanku dengan Kak Dewi yang sudah lulus dan menikah seolah-olah itu acuan hidup yang maha benar!”
Saija cengar-cengir, pikirnya, perempuan pun punya perkelahian tersendiri yang juga tak kalah beratnya.
“Tapi aku tau, maksud Ibu baik,” lanjut Uti. Ia kemudian mengobati satu luka lagi di pelipis Saija.
Saija mengangguk. “… tapi entahlah, Ti. Bisa jadi Bapak memang punya dendam padaku atau dendam masa kecilnya yang belum dibayar tuntas.”
“Maka berhentilah berkelahi tuk membuktikan kalau kamu bukan pelampiasan dendam.”
“Percayalah, Ti. Bagi Bapak, apapun yang kulakukan tak akan pernah cukup.”
Saija pun mengenakan tasnya lalu sembarangan meminum air kelapa yang ada di sampingnya.
“Heh! Itu punyaku!”
Saija tertawa geli dan tanpa mempedulikan Uti ia berjalan menuju rumahnya.
--------------
Saija pun tiba di depan pagar rumahnya. Tempat laundry Ibu sudah digembok sebab hari sudah menjelang magrib dan itu juga berarti Bapak sudah kembali dari bengkel.
Uti yang menyusul dari bari belakang pun segera menepuk pundaknya, memberinya tatapan yakin, lalu ia kembali ke rumahnya. Berkat dorongan itu, Saija pun membuka pagar dengan segenap tarikan nafas panjang terlebih dulu.
Pintu rumah pun ia buka sembari memberi salam. Ada Rinjani yang tidur tengkurap menonton televisi, menggambar, dengan buku PR Bahasa Indonesia yang dibuka disebelahnya, seperti biasanya sok tau bisa menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus.
“Ibu mana?”
“Ada di dapur,” jawab Rinjani dengan mata fokus ke layar televisi.
Suara oseng-oseng pertemuan sodet dan wajan dengan tepatnya langsung berbunyi.
“Bapak?”
“Kamar."
Saija pun melangkah menuju dapur sambil bilang, “Kau kerjakan PR dulu baru menonton.”
Rinjani hanya bergumam tak jelas, sepertinya tak akan digubris juga. Satu-satunya hal yang Saija syukuri dari hobi Rinjani adalah acara favoritnya adalah tentang ilmu pengetahuan umum, bukan acara yang bintang tamunya pura-pura di hipnotis apalagi acara musik dengan lirik mendayu tak mendidik.
Di dapur Ibu tampak sedang menggongseng kangkung yang dimasak tadi pagi tuk dijadikan makan malam. Ketika Saija muncul dan baru hanya menyapanya, gerakan tangan Ibu yang menggongseng pun berhenti menghentak.
“Ya ampun, Jaaa…” jerit Ibu berbisik, khawatir bikin heboh satu rumah. “Hanya dua itu kan lukamu? Tidak ada yang lain?”