Kepulangan Kak Tris ke rumah merupakan kabar baik bagi Rinjani yang kesal sekali dengan tumpukan PR sekolah yang mengganggu waktunya menonton acara kesayangannya (terutama PR menulis puisi, tapi ajaibnya, nilainya selalu bagus), sebab Kak Tris lah yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian mau mengajarkannya, berbanding terbalik dengan Saija yang mau mengajarkannya dengan penuh ceramah menyebalkan terlebih dulu dan memintanya cepat-cepat mengerti (sebab itu mencuri waktunya bertemu Uti).
Namun, kepulangan Kak Tris juga merupakan kabar buruk, sebab ia tau Ibu tengah khawatir tentang kabar miring perusahaan tempat Kak Tris bekerja, ia tau kerenggangan antara Kak Tris dengan Mas Saija, dan ia tau bahwa ia masih dianggap semua orang sebagai anak bawang untuk ikut serta dalam berita kepulangan kakak pertamanya.
-----------------
Empat tahun lalu, disaat usianya masih sepuluh tahun, tepatnya pada kejadian Bapak jatuh dari atap dan masuk rumah sakit, ia pun tau kabar mengejutkan ini karena Kak Tris menjemputnya di jam sekolah. Kondisi Bapak saat itu sudah kritis, tubuhnya terkulai, nafasnya dibantu alat bantu pernafasan, dan meskipun masih sadar, kelopak matanya tampak amat layu.
Ia lihat Ibu duduk di samping Bapak, mencengkram erat tangannya, dan menangis tersedu-sedu tanpa henti. Kemudian ia pun menengok Kak Tris yang bersandar pada dinding sembari menunduk dan memijat-mijat batang hidungnya. Terakhir, yang baru tiba adalah Mas Saija yang tak bicara sama sekali sejak kedatangannya, namun matanya memerah dan tergenang air, dan rautnya menggeram lebih menakutkan dari pada saat ia beres berkelahi.
Ada yang tidak beres, pikirnya, sebab Bapak sering membetulkan atap rumah ketika hujan turun, dan kali ini hujan seolah sengaja menjatuhkannya bahkan dengan hanya gerimis yang seperti bercanda.
Rinjani jadi satu-satunya yang tidak menangis bahkan ketika Bapak menghembuskan nafas terakhirnya tiga hari setelah kejadian itu, bahkan detik-detik Bapak dikebumikan, Rinjani hanya diam mematung mirip orang linglung (padahal saat itu Ibu, Kak Tris, hingga Mas Saija pun tak kuat menahan tangisnya). Beberapa hari setelah Bapak wafat, Rinjani tak banyak bicara, tak bernafsu makan, dan di sekolah pun tak bermain dengan ceria seperti sebelumnya. Hal ini membuat seisi rumah khawatir tanpa saling membicarakannya satu sama lain.
Berbulan-bulan setelahnya, Rinjani kembali tersenyum, berguyon dengan kelakuan usil ciri khasnya. Ini semua berkat kerjasama tanpa bicara antara Ibu, Kak Tris, dan Mas Saija serta hujan yang sebetulnya terus turun tuk merestui.
-------------
Hujan yang terus turun pada keluarga ini menjadi banyak tafsir yang kian bias.
Bagi Ibu, hujan adalah kekhawatiran. Hujan selalu menjadi pertanda pada kekhawatiran akan kejadian buruk yang akan muncul dan Ibu seolah diminta untuk mempersiapkan dirinya baik-baik.
Bagi Kak Tris, hujan adalah penantang. Seperti rival, hujan seakan turun untuk meyakini dirinya bahwa tak ada seorang pun yang hidupnya baik-baik saja, mulus-mulus saja.
Bagi Saija, hujan pantas dimaki, sebab turun untuk mempermainkan hatinya, seakan turunnya disertai senyum bengis nan merendahkan.
Bagi Rinjani, hujan adalah hujan. Mereka turun karena memang harus turun dan kebetulan datang pada saat-saat yang mungkin tidak tepat, sebab mereka pun turun karena langit menangis bersedih.
Dibandingkan memikirkan ide untuk menulis tugas puisinya, ia lebih suka memikirkan konspirasi-konspirasi (dan mungkin berbuah ide untuk puisinya).
Pemikiran Rinjani yang pertama : Ia membayangkan langit yang memiliki mata berupa awan yang mendung menggelap lalu mengeluarkan air hujan layaknya air mata dan jikalau petir bergemuruh, itu berarti langit meraung-raung.
Pemikiran Rinjani yang kedua : Semakin derasnya hujan dan semakin merontanya petir maka kesedihan langit bukanlah kesedihan yang main-main.
Pemikiran Rinjani yang ketiga : Entah apa yang langit tangisi. (Pemikiran ini yang paling sulit untuk diterka bahkan dengan kesimpulan asal-asalan)
Pemikiran-pemikiran ini muncul ketika hujan turun deras berhari-hari dan membuat rembes plafon kamarnya sampai ia terbangun (saat itu ia juga masih 10 tahun dan plafon rumah hanya beberapa yang rusak). Saat itu ia pun terpaksa mengungsi di kamar Ibu-Bapak, namun karena tak bisa kembali tidur, ia pun duduk bersama dua kakak laki-lakinya yang sedang menonton pertandingan sepak bola di ruang tengah, dan respon dari keduanya : tertawa cengengesan. Pemikirannya ini juga tampaknya muncul dari acara televisi favoritnya yang sering memberi fakta-fakta unik seputar misteri.
Terkadang, pemikiran ini merupakan ide baik untuk membantunya menulis tugas menulis puisi yang memuakkan itu. Sayangnya, Rinjani sering kurang pede dengan tulisannya.
-------------------------------
Kembali ke tahun sekarang.
Seorang lelaki memasuki usia 26 tahun turun dari mobil taksi online dengan jaket hoodie tipis yang hanya sanggup menahan suhu pendingin ruangan beberapa jam saja. Sol sepatunya becek dipenuhi tanah merah lengket gara-gara hujan yang mulai turun membasahi jalan. Ujung rambutnya sebagian telah terkena hujan sebab hanya kapucong jaketnya yang melindungi dan kebiasaan lamanya yang sering ia sesali adalah lupa membawa payung. Lelaki itu juga membawa satu tas besar menyaingi koper serta satu ransel dipunggungnya. Ia membuka engsel pengunci pagar sehingga menimbulkan denyit nyaring dari besi karat yang saling bertemu, kemudian beriringan dengan salam dan gemuruh petir ia pun mengetuk pintu rumah berkali-kali.
Itu Kak Tris. Rinjani sudah tau kabar kepulangan Kak Tris sejak berminggu-minggu lalu dan kini kabar itu benar adanya. Hatinya amat senang sekali namun terasa agak aneh karena kondisi fisik kakaknya yang kini amat sangat berbeda, lebih kurus dan kusam seperti tak terurus.
“Loh? Kok Kak Tris hujan-hujanan?” Rinjani mengernyit begitu membuka pintu untuk kakak sulungnya.
Kak Tris menyengir, paham guyonan aneh adik perempuannya itu. “Kehujanan mungkin maksudnya, Jaaan…” Kak Tris mengacak-acak rambut Rinjani, “Ibu mana?”
“Tuh, lagi beberes laundry.”
Rinjani memuncungkan bibirnya ke arah ruang tengah, terlihat Ibu sedang melipat lalu membungkus rapi pakaian-pakaian pelanggan, karena kesibukannya itu pula ia meminta Rinjani yang membukakan Kak Tris pintu.
Konspirasi ketiga – jilid 1 : Sebab langit sedih adalah Ibu yang khawatir pada malam ini.
Rinjani sesungguhnya mulai curiga dengan gerak-gerik Ibu beberapa bulan lalu, terutama saat Ibu sering melamun ketika melayani pelanggan laundry dan memasak. Kecurigaannya pun sedikit demi sedikit mengarah pada Kak Tris, belum pasti memang, tetapi sintesa awalnya itu muncul karena pada beberapa bulan terakhir Ibu terlihat murung acap kali menelpon Kak Tris padahal di bulan-bulan sebelumnya ia girang nyaris seperti kelinci melompat.
Kak Tris pun hendak membersihkan diri dan Rinjani bergegas mengambilkan handuk dan meletakkannya di atas kasur kakaknya, mirip seperti yang ia lakukan untuk Bapak setiap pulang dari bengkel. Kemudian, ia pun menemani Kak Tris makan malam di ruang tengah bersama Ibu. Ia melompat di sebelah Ibu, menyenderkan kepalanya sembari menyimak antusias cerita Kak Tris yang selalu membuatnya penasaran.
Namun, ada yang aneh. Mas Saija tak ikut berkumpul bahkan ia tak menyapanya, mustahil suara lantang Kak Tris kedap di dinding kamarnya. Ia yakin kekesalannya bukan hanya pada hujan yang siap menembus plafon rumah malam ini.
Konspirasi pemikiran ketiga – jilid 2 : Sebab langit sedih adalah kerenggangan antara Kak Tris dan Mas Saija. Kerenggangan mereka terjadi sejak Bapak sering membandngkan keduanya namun itu sempat mereda semenjak Mas Saija tak lagi buat onar di sekolahnya dan entah kenapa beberapa bulan belakangan seakan kerenggangan itu kembali muncul.
“Mas! Kak Tris hebat sudah naik pesawat!” seru Rinjani begitu melihat Mas Saija membuka pintu kamar. Sengaja, supaya ia ikut berkumpul.
Saija tak memberikan ekspresi seakan peduli setan pada cerita apapun tentang kakaknya dan itu terus melangkah ke dapur.