Nyaris jam dua belas tengah malam beberapa menit lagi.
Hujan tak henti-hentinya mengguyur bumi malam ini, seakan sengaja membuat rumah menjadi spon yang diperas seperti yang pernah dikatakan Rinjani.
Gara-gara hujan malam ini, semua pun tak tidur, sebab beberapa kali mereka harus bolak-balik membuang air tampungan yang telah penuh dan mengganti dengan yang masih kosong. Rumah jadi mirip kapal yang diisi air laut akibat badai dan penghuninya jadi mirip awak kapal yang sibuk membuang air laut yang masuk.
“Mas, apa aku bisa ke rumah Kak Uti? Aku mau tidur di sana saja.” Rinjani yang juga tak bisa tidur jadi ikut bolak balik mengganti tampungan air bocor di kamarnya
Saija dengan raut yang masih menggeram menjawab, “jangan ganggu tetangga. Mereka sudah tidur.”
“Kau tidur di ruang tengah saja. Nanti Kakak yang urus semua tampungan air bocor,” balas Kak Tris.
“Tapi kan banyak nyamuk, Kak...”
“Jangan bawel,” sambar Saija ketus. “Kondisi seperti ini jangan mengeluh.”
Ibu yang memilih duduk di ruang tengah (sebab Saija yang mengurus mengganti air bocor di kamarnya dan ia juga tak bisa tidur) langsung menepuk pundak Saija dengan harapan ia berhenti.
Dengan rengutan, Rinjani pun duduk di samping Ibu, antara menurut atau memang tak mau ada ribut-ribut di tengah malam buta.
----------------------------------------
Waktu memasuki jam dua belas lewat lima belas menit. Ini sudah ketiga kali Kak Tris dan Saija bolak-balik ke ruang cuci tuk membuang tampungan air yang penuh dari seluruh ruangan, mungkin akan menjadi tujuh kali malam ini, sebab hujan terdengar masih amat konstan, masih ada deru angin dan gemuruh petir seperti awal kemunculannya.
Malam ini bisa dikatakan bocor paling parah sepanjang sejarah rumah ini. Biasanya, ketika hujan turun dan berhasil menembus plafon rumah, maka hanya beberapa titik saja yang bocor dan hanya butuh dua hingga tiga baskom untuk menampung, tak perlu kaleng margarin bekas, seluruh penghuni tak perlu terjaga di malam hari.
Malam ini hujan juga turun dengan hebatnya, seperti mengamuk, seperti langitnya siap ikut menghujam. Biasanya meski hujan turun dan rumah terkena bocor, maka kebocorannya masih bisa diatasi, sebab Bapak rela naik ke atas atap dan membetulkan genteng yang rusak, terkadang Saija atau Kak Tris pun ikut menemani, tetapi sejak kejatuhan Bapak dari atap di tengah turunnya hujan, Ibu selalu melarang siapapun naik ke atas atap, dan itu lah sebab lain (selain faktor kesulitan finansial) bocor yang bertubi-tubi kerap muncul di rumah.
Kak Tris, Saija, dan Rinjani sebetulnya pernah saling mengeluh satu sama lain tanpa sepengatuhan Ibu tentang bocor rumah yang tak henti semenjak kepergian Bapak.
Pernah dua kali Kak Tris bekerja sama dengan Saija dan Rinjani untuk membujuk Ibu keluar rumah supaya Kak Tris dapat membetulkan genteng selagi Ibu pergi. Kemudian pernah pula beberapa kali dengan trik yang serupa, Kak Tris memanggil tukang ke rumah tuk membetulkan. Namun, pada akhirnya hasilnya sama. Rumah itu memang harus di rombak habis atapnya, sebab sudah banyak kayu lapuk termakan rayap dan air hujan.
Seperti kutukan, hujan tak bosan-bosannya menghampiri, dan secara berkala datang pada masa-masa penting kehidupan keluarga Bapak, seakan-akan enggan hanya menjadi cameo di sekitar.
Itu mengapa sering terbersit oleh Kak Tris bahwa hujan patut ditantang dan Saija yang dengan senang hati memaki hujan.
-----------------------------
Saija saat ini membawa baskom kosong di ruang tengah, disusul Kak Tris yang sedikit mengantuk membawa dua buah baskom penuh dari kamar Rinjani.
“Ini betul-betul seperti kapal ambruk!” gumam Saija sembari meletakkan baskom dengan setengah membanting.
Ibu yang hampir tertidur di sofa pun sampai terkejut. Untungnya Rinjani yang tengah terlelap hanya mengigau dengan meraung tak jelas
Kak Tris menyeringai, “seperti spon yang diperas.”
“Kau pikir ini lucu?”
“Aku hanya mengulang apa yang dikatakan Rinjani.” Kak Tris pun berlalu tanpa mengabaikan obrolan barusan.
Saija terdiam sejenak, menatap ke arah ruang cuci dengan menolak pinggang. Kemudian, ia bergerak ke arah sana dengan langkah cepat nan berderap.
Ia menghampiri Kak Tris yang tengah mengguyur lubang air dengan air hujan di dalam baskom.
.
.
“Begini saja, kau atau aku yang naik ke atas?” tanya Kak Tris geram, menantang seperti saat bocah-bocah tengil adu mulut dengannya.
“Maksudmu?”
“Kita betulkan atapnya malam ini,” balas Kak Tris mantap.
“Kau gila? Sekarang hujan lebat!.. Ibu bisa histeris kalau tau!”
“Memang kau punya solusi lain?”
Saija mengatup mulutnya rapat-rapat. Ia pun tidak punya jawaban apa-apa.
“Bapak dulu juga sering betulkan saat hujan malam hari.”
“Dan lihat akibatnya!” Saija sedikit menghentak setelah mengambil kembali baskom-baskom yang telah kosong.
“Ibu masih khawatir dengan itu, Kak! Jangan sampai kita buat dia-“
“Ibu akan selalu khawatir dengan segala hal... Jadi kau atau aku?”
Saija pun keluar ruangan dan tegas bilang, “Tidak ada yang naik.”
Air-air hujan yang masih menggenang terlihat bergerak perlahan-lahan sebelum masuk ke dalam lubang air lalu mengalir terus ke dalam got melalui pipa-pipa.
Ya, seharusnya berakhir di got, bukan plafon rumahku! Pikir Kak Tris dalam lamunannya menatapi lubang air. Dan itu memicu membulatkan niatnya.
Ia mengambil sebuah alat perkakas berisi peralatan seperti palu, paku, dan lain-lain dari ruang penyimpanan.
Saija yang baru saja kembali meletakkan baskom-baskom kosong di kamar Rinjani tak sengaja melihatnya baru keluar dari ruang tersebut menuju pintu keluar dan cekat menahannya.
“Kak! Apa-apaan? Kau masih nekat?!”