Empat tahun lalu di hari Jumat sore, beberapa bulan sebelum kejadian teguran Bapak di meja makan, dan waktu menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh enam menit.
Kala itu baju kemeja andalan Bapak cemong-cemong terkena oli motor dan debu tapi wajahnya senyam-senyum ketika sampai di rumah, sebab aroma ikan goreng masakan Ibu tengah menggoda hidung ketika membuka pintu.
Senyum Bapak pun makin merekah melihat kebiasaan Rinjani yang asyik menonton televisi dengan sok tau nya merasa sanggup mengerjakan PR Sekolahnya disaat yang bersamaan. Di sana juga ada Trisna yang sedang berkutat di depan tumpukan draf skripsi yang ia corat-coret lalu membuatnya toleh-menoleh pada buku-buku yang menjadi acuan teorinya, sesekali bibirnya pun menegur lembut si bungsu yang bersikukuh mampu menyelesaikan PR dengan mata menghadap acara TV.
Bapak lalu ke kamar dan didapatinya sudah ada handuk beserta pakaian ganti yang telah dipersiapkan Rinjani untuknya mandi. Selepasnya mandi, ia pun makan dengan nasi beserta lauk hasil masakan Ibu yang menggugah selera. Senyum Bapak makin merekah, lelahnya yang menumpuk seharian terasa terbayar tuntas.
Magrib pun tiba, selepas ia salat, ia pun merenggangkan tubuh sejenak di kasur, ia ingat ada satu hal lagi yang terasa ganjal dalam senyum merekahnya— Saija, ia belum pulang dari sekolah, dan itu membuat senyumnya terasa tersangkut tanpa disadari.
“Kemana si tengah?” tanyanya pada Ibu yang tengah menyimpan kembali sarung dan sajadah ke dalam lemari pakaian.
“Dia kan memang selalu pulang sore.”
“Berkelahi lagi?”
“Main ke rumah temannya mungkin,” Ibu berusaha tetap tenang, “kalaupun ia berkelahi, pasti sekarang ia sedang di warung bersama Si Uti.”
“Ah, Dia itu bikin malu saja! Bapak takut Bu Haji Oos pikir anak kita memberi pengaruh buruk pada anaknya.”
“Hus!” sontak Ibu disertai hentakan pelan dengan sajadah ke kasur. “Anak-anak kita semuanya baik-baik, Pak. Toh, Saija dan Uti dekat juga karena berteman sejak kecil.”
Bapak tak membalas lagi, ia setuju dengan perkataan istrinya, tetapi lamunannya membayangkan lebam-lebam yang muncul di wajah Saija sepulang sekolah nanti.
“Percaya pada Saija, ia akan berubah,” lanjut Ibu.
Bapak pun melamun, mengadah pada plafon yang baru ia betulkan beberapa bulan lalu, yang kembali putih dan belum menguning meski hujan sempat beberapa kali turun.
-----------------------------
Pukul enam lewat dua puluh menit. Denyit pagar rumah yang berkarat pun berbunyi. Saija pulang dengan seragam sekolah yang masih dikenakan. Wajahnya lebam-lebam dan hidungnya disumpal sebuah tisu yang tampak memiliki noda darah kering diujungnya.
Beruntung, sore itu Trisna masih berkutat di ruang tengah dengan draf skripsinya, sehingga dialah yang membukakan pintu.
“Berkelahi lagi kau?” sambut Trisna yang sebetulnya bukan maksud memarahi, tetapi karena ia malas dengan ribut-ribut antara Saija dan Bapak yang kerap terjadi karena hal yang sama.
“Kau jangan bersikap seperti Bapak,” Saija tanpa peduli langsung berlalu ke ruang tengah.
“Bukan begitu. Aku malas ada ribut-ribut.”
Saija memilih merebahkan tubuhnya di sofa setelah menggeletakkan sepatunya di sebelah pintu. Ia setuju, sebab siapa yang mau ada ribut-ribut? tetapi mau bagaimanapun itu memang salahnya.
Kak Tris kembali dengan pekerjaannya. “Sudah kau obati?”
Saija mengangguk, “seperti biasa, dengan Suster Uti.”
Kemudian, Bapak pun keluar kamar, tujuannya merokok di serambi dengan segelas kopi panas, tetapi ia sekaligus ingin membuktikan prasangkanya betul atau tidak dengan menengok wajah Saija. Sialnya, batinnya selalu betul, seolah-olah perkataan Ibu hanya harapan pada anak kecil yang tak cocok diberikan pada anak seusia Saija.
Dilihatnya Saija telentang, berselonjor dengan menyumpal tisu di hidungnya yang masih ia pegang agar tak jatuh. Bawah matanya bonyok dengan memar ungu, begitu pula kening dan rahangnya. Ini bukan pemandangan asing untuk pertama kalinya. Lebih menyebalkan lagi karena kehadiran Bapak sama sekali tak mengusik dirinya dan ia justru terus berbaring santai.
Bapak lalu terus berjalan keluar, menikmati kopi hitam dan rokoknya di serambi. Asapnya yang mengepul-ngepul terlihat dari selip jendela yang tertutup gorden. Tingkah cuek Bapak sampai membuat Trisna pandang memandang satu sama lain pada Saija, terheran-heran, tetapi juga makin khawatir pada ribut-ribut yang justru bisa lebih besar.
Setelah satu jam, Bapak pun kembali ke dalam rumah, dilihatnya hanya ada Trisna yang masih berkutat dengan tugas-tugas kuliahnya dalam posisi duduk yang sama. Kemudian, Bapak berjalan ke kamar, berpapasan dengan Saija yang menggantung handuk di lehernya selepas mandi. Ajaibnya, Bapak diam saja, seperti biasa saja, ekspresinya pun tidak menunjukkan tanda-tanda marah ataupun muram.
Setelah pintu kamar Bapak tertutup, Saija buru-buru ke ruang tengah, sebab pemandangan tak lazim itu mendadak membuat lebam-lebam di wajahnya sempat berhenti berkedut.
“Kau lihat tadi?”
Kehadiran Saija sampai membuat Trisna terlonjak kaget.
“Bapak?”
“Iya!” Saija mengangguk-angguk semangat. “Dia tak memarahiku sama sekali. Aneh, bukan?”
“Belum mungkin.”
“Mungkin.”
--------------------------------------
Lalu malam berlanjut dengan tenang, tanpa ada keributan bahkan sedikit teguran (kecuali pada Rinjani yang akhirnya mengerjakan PR dengan sungguh-sungguh). Bapak tetap menonton TV di ruang tengah bersama yang lainnya, ia tertawa, dan berkomentar pada adegan komedi dari acara kesayangannya, persis seperti yang biasa ia lakukan.
Saija yang biasanya lebih sering membaca buku di kamarnya sampai ikut duduk bersama di ruang tengah saking penasaran, saking kebingungan sendiri dengan sikap Bapak yang seperti kemasukan jin atau terbentur batu besar. Trisna, Ibu, dan Rinjani bahkan sampai saling melihat satu sama lain karena kehadiran Saija di tengah mereka (Rinjani pun sampai menyuap kacang ke hidungnya karena salah tingkah).
Namun, Bapak tak merespon kehadiran Saija. Ia tampak melirik tetapi langsung beralih pada acaranya kembali.
Ketika malam semakin larut dan seluruh penghuni rumah sudah kembali ke kamar masing-masing, Bapak pun bicara pada Ibu sembari telentang menghadap plafon kamarnya.
“Dia babak belur lagi,” ujar Bapak membuka pembicaraan.
Ibu segera menyimak dengan jemari yang sedang memelintir biji tasbih satu per satu serta mata yang terpejam sejak tadi.