Malam itu Saija tak bisa tidur. Giginya terus bergeletuk, beriring dengan decak cicak di sudut plafon luar kamarnya. Ia memandangi langit-langit di atasnya yang tak seputih dulu, dinodai bekas bocor hujan hebat bulan lalu, dan itu bukan hanya di satu titik kamarnya. Ada dua, tapi yang satu lagi tak separah yang berada tepat di atasnya, itu juga gara-gara hujan yang tak kalah hebat dua minggu lalu.
Gemuruh petir di luar jadi pertanda hujan akan datang lagi malam itu, entah akan sedahsyat sebelumnya atau bahkan lebih galak menghujam tanah. Mendengar gemuruh-gemuruh yang masih redam itu membuat gigi Saija semakin bergeletuk, bencinya bercampur pasrah, seolah-olah hujan memang sengaja menghujam dengan dendam.
Ia pun segera bangkit dari kasurnya tuk mengambil ember dari ruang penyimpanan di dekat dapur, lalu bergegas kembali ke kamarnya.
“Ja, itu buat kamar kau ya?”
Ibu menunjuk dua buah ember kecil yang telah ditenteng Saija.
Saija mengangguk. “Sebentar lagi hujan.”
“Iya. Kau ambil baskom di belakang aja, gih! Satu ember buat kamar Ibu.”
“Buat apa lagi?”
Seingat Saija kamar Ibu hanya ada tiga rembesan hujan yang juga disebabkan hujan dua bulan lalu dan hujan-hujan sebelumnya dan belum bertambah semenjak itu.
“Ibu takut hujannya lebih besar dari sebelumnya. Rembesan yang biasanya Ibu tampung dengan kaleng sudah tidak sanggup menampung lagi di hujan terakhir.”
Hujan besar dua minggu lalu itu juga turunnya malam-malam disaat Saija, Ibunya, dan adik Saija yang bernama Rinjani sedang tidur pulas. Gara-gara hujan besar dua minggu lalu, kepala yang harusnya di atas bantal berubah menjadi tempat meletakkan ember.
Satu ember yang ia bawa pun diberikan pada Ibu yang sedang menyetrika pakaian, kemudian ia kembali pergi ke ‘belakang’ alias sebutan ruang penyimpanan di dekat dapur yang isinya dipenuhi ember, baskom, dan alat memasak yang jarang digunakan.
Ketika ia hendak memasuki ruang penyimpanan, didapati Rinjani membawa dua buah baskom besar di tangan dan satu lagi yang sengaja disangkut di kepalanya menjadi sebuah topi.
“Mau perang?” tanya Saija datar, sudah hafal betul kelakuan nyentrik adik perempuannya itu.
“Iya. Lawan hujan.” jawab Rinjani cuek dengan langkah jalan yang mengayun-ayun berdendang. “Eh, Mas nyari baskom? Udah habis.”
“Hah?!”
Dengan panik Saija celingak-celinguk ke dalam ruang penyimpanan, baik-baik ia perhatikan deretan alat-alat yang tertata pada rak, kabinet, yang tergantung di dinding, dan yang tergeletak begitu saja di lantai. Hasilnya nihil dan yang tersisa hanya kaleng margarin kosong bekas lebaran tahun lalu. Meski begitu, Saija tetap membawanya dengan sedikit kesal sebab khawatir sebuah kaleng bekas margarin tak sanggup menampung bocor di kamarnya malam ini.