Seorang lelaki memasuki usia 26 tahun turun dari mobil taksi online dengan jaket hoodie tipis yang hanya sanggup menahan suhu pendingin ruangan beberapa jam saja. Sol sepatunya becek dipenuhi tanah merah lengket gara-gara gerimis yang mulai turun membasahi jalan. Ujung rambutnya sebagian telah terkena hujan sebab hanya kapucong jaketnya yang melindungi dan kebiasaan lamanya yang sering ia sesali adalah lupa membawa payung. Lelaki itu juga membawa satu tas besar menyaingi koper serta satu ransel dipunggungnya. Ia membuka engsel pengunci pagar sehingga menimbulkan denyit nyaring dari besi karat yang saling bertemu, kemudian beriringan dengan salam dan gemuruh petir ia pun mengetuk pintu rumah berkali-kali.
“Loh? Kok, Kak Tris hujan-hujanan?” Rinjani mengernyit begitu membuka pintu untuk kakak sulungnya.
Kak Tris menyengir, paham plesetan aneh adik perempuannya itu. “Kehujanan mungkin maksudnya, Jaaan…” Ia mengacak-acak rambut Rinjani, “Ibu mana?”
“Tuh, lagi beresin laundry.”
Rinjani memuncungkan bibirnya ke arah ruang tengah, terlihat Ibu sedang melipat lalu membungkus rapi pakaian-pakaian pelanggan.
Kak Tris segera membuka kapucongnya agar dapat leluasa mencium tangan Ibu dengan takzim. Kemudian Ibu mengusap-usap kepalanya, dilihat mata anak sulungnya itu tampak sayu dan ditegaskan kantong mata yang gelap dan tebal, tubuhnya yang makin kurus menjelaskan tulang rahangnya yang menonjol, kulit sawo matangnya kering gersang seperti terlalu sering terpapar matahari.
“Kau kurus sekali, nak. Lusuh, mirip gembel.” Ibu berusaha menutup senyum patahnya.
Kak Tris hanya tersenyum, “Tris sekarang banyak kerja di lapangan, Bu.”
Ibu pun membalasnya senyum, sebab ia tau yang dimaksud anaknya itu.
Sang Ibu kemudian menyuruhnya lekas membersihkan diri, mengganti pakaian bersih, lalu makan. Wanita itu berharap tak ada pembahasan apapun tentang sebab kedatangan anak sulungnya serta cerita apapun yang berkaitan dengan apa yang ia lakukan di sana. Ibu hanya mau mendapat ketenangan meski sejumput pada hujan yang akan mengguyur hebat malam ini.
Si bungsu Rinjani tak perlu menunggu perintah, ia gesit mempersiapkan sebuah handuk dan pakaian bersih untuk kakaknya mandi lalu ia letakkan semua itu di atas kasur kakaknya. Terakhir, ia pasti menyahut bila semua itu telah beres—suara ini jadi penambah ketenangan Ibu malam ini, pertanda seluruh anaknya lengkap.
Ini semua ia lakukan karena sudah dibiasakan Ibu ketika Bapak masih ada, Rinjani kecil sudah sering menyiapkan handuk beserta pakaian lengkap bila Bapak pulang larut dari bengkel. Selain karena pada awalnya harus dimarahi terlebih dulu oleh sang Ibu, kebiasaan ini juga disebabkan bau menyengat oli yang menempel pada baju Bapak sepulang kerja dan membuatnya terang-terangan menutup hidung. Namun, Bapak justru dibuat terkekeh-kekeh lalu iseng membalas Rinjani dengan menghampirinya sampai kejar-kejaran.
Saija sedari mendengar denyit pagar yang terbuka sudah merasa suasana hatinya semakin keruh, ia yakin tak ada lagi orang yang datang selain kakaknya, terlebih ketika ia menengok jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh menit seperti kisaran jam kedatangannya yang diprediksi Ibu.
Sejak kedatangan Kak Tris ia memilih bersandar ke dinding, berselonjor di atas kasurnya sembari membaca ‘Perempuan di Titik Nol’ karya Nawal El Sadawi yang berhasil ia dapatkan murah di toko klontong dekat kampus. Ia tak benar-benar membaca sebab suara lantang penuh ramah tamah ciri khas kakaknya sangat mengganggu telinga (baginya), hingga buku itu kebanyakan hanya dibuka lembar demi lembar.
Apalagi ketika Rinjani masih saja melayani Kak Tris selayaknya menyambut kedatangan Bapak, itu semakin membuat Saija jadi makin gusar dengan kehadiran Kak Tris, seolah ia adalah raja yang harus disambut karpet merah dan jamuan.
Saija berusaha membaca bukunya baik-baik namun konsentrasinya buyar ketika plafonnya mulai rembes di satu titik, tepat di atas kaleng margarin yang sempat ia kira cuma sampah. Untungnya, tetesan yang turun masih terhitung lambat, itu pertanda hujan masih berbaik hati untuk tak datang bak tawuran sekolah.
“Segarrr!”
Suara Kak Tris yang keluar dari kamar mandi terdengar lantang hingga ke kamar Saija. Jarak antara kamar mandi dengan kamar Saija memang berdekatan namun bukan itu yang Saija maklumi, tapi reaksinya yang santai seolah ini hanyalah mudik biasa.
Sepiring nasi di atas piring sudah disiapkan Rinjani di atas meja makan dan dibiarkan kosong tanpa lauk supaya Kak Tris memilih sendiri. Lauk yang tersedia tersisa adalah tiga potong tempe, tiga potong tahu, sambal terasi, dan semangkok kecil tumis sayur kangkung, ketiga lauk sederhana itu sudah sangat cukup menggugah selera makan Kak Tris begitu ia membuka tudung saji.
“Kau tak makan?” sembari mengambil sepotong tahu, Kak Tris melirik pada adik bungsunya itu.
Rinjani yang ikut-ikutan mengambil sepotong tahu tuk cemilan pun menggeleng. “Tidak. Tadi udah bareng Ibu.”
“Saija?”
Gadis yang baru tumbuh besar itu mengangkat bahu. “Dari tadi kerjanya cuma marah-marah.”
“Karena?”
“Hujan,” jawab Rinjani dengan mulut penuh tahu. “Dia khawatir malam ini akan banyak bocor tapi baskom di rumah sudah habis dipakai.”
“Separah itu kah bocornya?” Kak Tris seperti tak percaya sebab sejak ia pergi meninggalkan rumah, atap rumah yang bocor memang sudah muncul di beberapa titik, tapi ia kira sudah diperbaiki jauh-jauh hari.
Rinjani mengangguk. “Mirip spon cuci piring saat diperas.”