Mendengar anak sulungnya hendak pulang dari perantauan membuat Ibu tak sabar menanti akan sosoknya yang ramah, tutur yang halus dan lembut, parasnya yang tampan dengan tubuh tegap nan menjulang. Trisna merupakan rindu yang harus terbayarkan. Di sisi lain, kepulangannya membawa empat hal :
Ibu sudah mendengar jauh-jauh hari desas-desus mengenai bangkrutnya kantor pusat tempat Trisna bekerja yang terletak di Jakarta, berita juga mengabarkan bahwa kantor tersebut juga semakin terancam ditutup karena melakukan bisnis ilegal dan sangat memungkinkan menyeret tutupnya kantor-kantor cabangnya. Tak perlu melihat berita di media, penyebaran lewat mulut tetangga tak kalah cepat dengan internet, hal ini sekaligus jadi topik selingan di tengah kegiatan belanja sayur keliling bersama para ibu-ibu lainnya.
Tentu, berita itu buat Ibu khawatir berdampak pada Si Sulung yang merantau jauh karena bekerja di kantor cabang dari perusahaan yang bermasalah tersebut. Beberapa tetangga yang cukup dekat dengan Ibu berusaha untuk tak membahasnya tapi ada pula tetangga-tetangga yang antara peduli sembari terselip nyinyir dengan menanyakan kabar anak sulungnya tersebut. Adapula omongan-omongan yang awalnya hanya berguyon tentang suatu topik korupsi dan bisnis palsu yang juga muncul belakangan ini, kemudian menyerempet pada dampak uang haram yang dihasilkan perusahaan tempat Trisna bekerja--- bicaranya bercanda, tapi niatnya menohok.
Ibu yang biasanya enggan memperdulikan omongan tak penting kali ini seperti membiarkan telinganya menjadi sebuah corong lebar. Awalnya ia berusaha mengabaikan segala omongan negatif tentang anaknya, namun seringkali itu membuatnya tertegun dalam pekerjaannya sampai-sampai seorang pelanggan harus sedikit menggebrak meja agar pakaian kotornya dapat ditimbang.
Usaha laundry milik Ibu tutup tiap pukul lima sore. Menjelang beberapa menit waktu tutup tempat usahanya itu, Ibu sudah menarik-narik pintu besi tuk digembok. Kemudian, ia masuk ke dalam rumah sembari membawa beberapa kantong pakaian kotor yang baru dititipkan pelanggan-pelanggannya. Tempat usaha Ibu dibuatkan Bapak dengan bentuk menyerupai warung dan sengaja diletakkan di sebelah rumah agar Ibu tak perlu jauh-jauh pulang, kebetulan memang ada tanah kosong bekas meletakkan kandang-kandang ayam Bapak di sana.
Plafon-plafon yang menguning hingga ada triplek yang sudah lapuk gara-gara bocor seolah menyambut kedatangan Ibu di ruang tengah—Itu sebuah pemandangan biasa, meski seringkali Ibu masih menghela nafas diam-diam tiap kali memandangi itu.
Rinjani Si Bungsu diam saja dengan kedatangan Sang Ibu sebab sedang asyik menonton televisi, sembari tengkurap dengan buku PR sekolah yang terbuka di depannya, sembari corat-coret menggambar di kertas lain. Ia selalu berusaha dan bersikeras kalau ia bisa multitasking.
Sembari lewat di depan Rinjani, Ibu sempat menengok PR sekolahnya—hanya tertulis tanggal di pojok kanan atas serta ‘bismillah’ dengan tulisan arab yang rapi, sisanya masih kosong melompong. Kertas berisi gambarnya yang sudah memenuhi satu kertas, isinya coretan berupa gambar dinosaurus dan awan-awan.
“Dek, PR-mu tak akan tiba-tiba muncul jawaban di kertasnya, doa saja tak akan cukup,” Ibu cengar-cengir usil.
“Ini pembukaan, Bu,” jawab Rinjani cuek dengan mata yang masih tertuju pada acara favoritnya.
“Kalau begitu sekalian saja kamu tulis Al-Fatihah.”
“Hehe. Ini mau Jani kerjain kok, Bu.” Rinjani cengengesan lalu mulai mengambil pensilnya ketika acaranya ada jeda iklan.
Ibu meletakkan pakaian-pakaian kotor di ruang lembab dengan kamar mandi kecil, di sana Ibu biasa mencuci pakaian rumah dan pakaian pelanggannya dengan cara manual maupun dengan mesin cuci dan mesin pengeringnya. Kemudian, ia beranjak ke kamarnya, membuka kerudungnya, duduk di sudut tempat tidur, melepas lelah.
Lagi-lagi Ibu membuka handphone-nya, memastikan pesan singkat kemarin dari anak sulungnya yang mengatakan bahwa ia benar-benar akan pulang.
‘Bu, Tris pulang besok. Kira-kira jam 9 atau 10 sampai.’
Betul, ia tak mengada-ngada, bahkan Ibu sampai termenung pada layar untuk beberapa lama.
Tujuh bulan setelah keberangkatan Trisna ke Palembang, Ibu mulai mendengar berita-berita miring soal perusahaan tempat anaknya bekerja dari Bu Haji Oos, teman ngobrol andalan Ibu yang letak rumahnya bersebrangan. Kemudian berita itu semakin menguat dengan kunjungan tetangga lama yang cendrung ceriwis bernama Bu Siti yang tiba-tiba menanyakan isu bangkrutnya kantor Trisna ketika tak sengaja bertemu saat belanja di warung (sekarang Bu Siti sudah pindah ke kampung lain dan Ibu sesungguhnya amat bersyukur dengan itu.).
Ibu mulai tergoyah ketika makin banyak tetangga yang mulai bertanya-tanya, meski menurutnya itu wajar, tapi itu sangat mengganggu pikirannya.
“Sudah, Bu Ratih, jangan terlalu dipikirin. Mudah-mudahan Trisna baik-baik saja,” ujar Bu Haji Oos pada Ibu tiap ada tetangga penasaran yang bertanya-tanya tentang Trisna.
Ibu pun hanya mengiyakan dengan senyum, tampak begitu tenang dan sabar, pun ketika tetangga nyinyirnya sibuk bertanya-tanya.
Namun, tentu sesekali pikiran tentang hal itu muncul sesekali meski Ibu sedang mencuci, mengaji tiap malam Jumat, makan, hingga beberapa menit menjelang ia tidur.
Jarinya selalu ragu untuk menanyakan langsung pada anak sulungnya sebab ia takut menyinggung, takut mengganggu pekerjaannya. Ibu memilih tetap menanyakan kabarnya seperti biasa, mengingatkannya untuk jangan lupa makan, mengingatkannya salat, atau mengirimkan swafoto Rinjani dengan muka jahilnya.
Seringkali Trisna mengajak Ibu video call dan anak sulungnya itu tampak baik-baik saja, ceria sebagaimana biasanya ia di rumah, sambutannya pun begitu santun, dan ia selalu menelpon malam hari di kost nya sepulangnya kerja. Ibu pun sebagaimana biasanya berbicara dengan tenang dan selalu tersenyum lebar melihat wajah anaknya itu, dan luar biasanya mampu menutup rasa penasarannya yang setengah mampus ingin bertanya tentang isu tempat bekerjanya itu.
Suatu malam sekitar jam setengah dua belas, Ibu masih terbangun di tempat tidurnya dengan posisi meringkuk, seharusnya ia sudah tertidur semenjak satu atau dua jam lalu, tetapi lagi-lagi ia dihantui soal Trisna, ditambah beberapa jam lalu anaknya baru menelpon tuk sekedar menanyakan kabar Ibunya. Gara-gara itu Ibu pun semakin pusing. Ia hendak mencari informasi melalui internet tapi ragu-ragu, tuk menyalakan handphone-nya saja ia merinding lalu dimatikan lagi, lalu dinyalakan lagi, lalu dimatikan lagi, terus saja demikian hingga posisi meringkuknya sudah berkali-kali bolak-balik gelisah.
Kemudian, dengan segenap keberanian yang ia kumpulkan, ia pun membuka internet dan mencari berita terkait perusahaan tempat Trisna bekerja… dan betul saja.
Perusahaan tempat Trisna bekerja merupakan perusahaan ilegal, memiliki banyak karyawan imigran gelap, serta banyak karyawan yang terlibat kasus korupsi pada proyek-proyeknya. Seluruh perusahaannya, baik yang pusat maupun yang cabang sudah bangkrut serta beberapa karyawan-karyawan yang terlibat kasus terkait imigran gelap dan korupsi akan ditindak lanjuti secara hukum.
Hati Ibu betul-betul terperanjat, remuk bukan main. Ia pun yakin rasa kantuknya malam itu akan hilang sebab air matanya yang tanpa sadar mengalir mungkin tak akan membuat kedua matanya lelah. Ibu pun meringkuk amat dalam, mirip jabang bayi dalam kandungan, sebab dadanya terasa sakit seperti dihujam martil bertubi-tubi.
Ibu mana yang menyangka anak lelakinya yang luar biasa cemerlang dalam pendidikan, kian saleh, amat tau sopan-santun dari tutur katanya yang lembut dan tak pernah lupa mencium tangan orangtuanya tiap kali hendak bepergian. Ia anak yang amat berbakti, seorang kakak yang dapat melindungi dan cocok menjadi panutan. Namun, bisa-bisanya ia terlibat dalam kasus seperti ini, seolah bermain-main dalam kesantunan yang ia buat-buat sendiri, seperti hujan yang bersingit di balik langit meski sebetulnya sudah bertumpah ruah bernafsu ingin turun.
Sebersit Ibu pun teringat masa-masa Trisna masih mengenyam pendidikan bangku sekolah. Setiap penerimaan rapot, Ibu pasti kecipratan puji-pujian tentang Trisna dari wali kelasnya. Mereka selalu bercerita tentang Trisna yang selalu juara kelas, selalu mendapat nilai tertinggi hampir di seluruh mata pelajaran, tidak pernah mencontek, dan disenangi teman-temannya. Tidak ada catatan keonaran sama sekali semasa ia sekolah, terlebih sopan santunnya yang membuat guru-guru yakin ia tidak akan berbuat aneh-aneh.
Ibu mengelap-elap air matanya dan berusaha meredam isaknya yang takut didengar Saija dan Rinjani. Ia pun menarik nafas panjang, diam beberapa saat menenangkan diri, kemudian dalam hati meyakinkan dirinya ada sekian persen bahwa anaknya tidak ikut terlibat. Ya, anakku baik-baik saja, ucapnya tanpa bunyi berkali-kali.
Keesokan harinya Ibu menjalani hari-hari seperti biasa. Ia bangun pagi buta tuk salat subuh, kemudian mengaji beberapa ayat, menyiapkan sarapan pagi dan masak untuk makan siang, mandi, mengerjakan segala urusan laundry, menutup tempat laundry, mandi sore, makan malam, menonton televisi bersama Rinjani (dan terkadang dengan Saija juga bila ia tak sibuk dengan tugas kampus), lalu pergi tidur—itu berlangsung selama berminggu-minggu seolah rutinitas tak terdistraksi dengan apapun.
Saija sempat menanyakan dirinya yang sempat tampak lesu hari-hari itu, anak itu memang yang paling punya rasa penasaran paling frontal di antara dua saudara lainnya, tetapi Ibu berusaha menutupi dengan senyum dan justru mengajaknya bercanda supaya ia lupa yang ia tanyakan.
Hari terus berlanjut dengan rutinitas sebelumnya, begitu juga malam yang sudah tak lagi membuat Ibu tidur sekitar jam sepuluh malam, ditambah karena hujan mulai turun dan membuat kebocoran air yang jatuh membentuk ritme yang mengganggu telinga. Gara-gara itu ia jadi memaksakan terpejam, meringkuk dan membolak-balikan tubuhnya, heboh seperti ayam mau bertelur.
Ia pun mencari kantuk dengan mengaji beberapa ayat namun tak juga berhasil. Kemudian ia membuka handphone, menonton tutorial memasak (ia menghindari membaca artikel karena itu mengingatkannya pada Trisna), namun itu juga tak berhasil, dan tanpa sadar membuatnya terus terjaga sampai jam dua belas lewat lima.
Ibu pun memilih bangun, berniat membuat teh hangat yang mungkin membuatnya mengantuk, namun ketika ia keluar kamar didapati anak tengahnya sedang serius menatap layar laptop di ruang tengah. Ia duduk lesehan bermodalkan tikar yang terlipat karena kebiasaannya yang malas membentang, kedua tangannya bertumpu pada meja tengah sembari menggelitik huruf-huruf komputer tentengnya itu.
“Kau belum tidur, Ja?”
“Masih ada tugas kampus yang belum beres, Bu,” jawabnya sempat menoleh pada Ibu dengan kedua tangan pada keyboard. “Ibu kenapa belum tidur?”
“Suara bocor.”