Trisna Narendra, lelaki usia 26 tahun itu telah kenyang dengan segala puji-pujian, segala prestasi, segala citra baik yang membuat banyak orang hidupnya baik-baik saja, mulus-mulus saja, seakan-akan kelahirannya tiba disaat semesta sedang penuh suka cita, tanpa ada gemuruh apalagi hujan melanda.
Bayangkan, ketika usianya menginjak 13 tahun, ia sudah menjuarai banyak lomba sains tingkat nasional, ia diterima di perguruan negri terbaik dan lulus dengan nilai IPK 3.86. Parasnya yang tampan, sikapnya yang ramah dan santun, semakin menegaskan bahwa semesta memang tak main-main merestui kehadirannya.
Namun, untuknya, kesempurnaannya hanyalah tipu muslihat semesta, seolah sesungguhnya ia diminta sadar bahwa tak ada satupun manusia yang hidup tanpa sekalipun tersandung. Ia sadari itu ketika ia berkali-kali melihat adik laki-lakinya dimarahi, hidupnya terpuruk, dan banyak hal buruk terjadi padanya, dan ia sama sekali tak pernah mendapatkan itu. Bahkan, ia pernah sengaja membuat satu nilainya jelek, namun orangtuanya (terutama Bapak) justru menyudahi masalah itu dengan mudahnya.
Ada yang salah, pikirnya. Persepsi sempurna selama ini mungkin hanya dari orang-orang sekitar, mungkin ia belum mendapatkan persepsi baru dari orang lain. Maka dari itu ia butuh pembuktian, salah satu kesempatan terbesarnya adalah pada keberangkatannya ke luar kota.
“Kau yakin akan kerja di luar kota?” tanya Saija yang duduk di ujung tempat tidur kakaknya, memperhatikan Trisna yang sedang menyicil baju-baju untuk dikemas. Pertanyaan itu bukan kali pertama ia tanyakan.
“Memangnya aku tak tampak seperti sanggup merantau?”
“Kolormu saja masih digilas Ibu.”
“Kampret!” Trisna nyengir. “Aku sudah pikirkan matang-matang kok, tenang saja. Lagipula aku tidak akan lupa kirim bulanan ke kalian, jadi jangan khawatir.”
“Jangan khawatirkan soal uang, Kak. Usaha laundry Ibu masih sangat mencukupi makan dan segala kebutuhan rumah hingga sekolah. Kerja sambilanku pun cukup untuk uang jajanku dan Rinjani.”
Trisna melirik sinis pada adik laki-lakinya itu. “Kau yakin?”
Ia pun menunjuk ke atas . “Coba kau tengok noda-noda plafon itu. Di kamarku baru satu, kelak mungkin ada tiga. Di kamarmu ada berapa?”
Saija pun mendongak begitu Trisna menunjuk ke atas, lalu ia termenung, mengingat noda bocor di kamarnya yang semakin parah dari hujan-hujan bulan lalu.
“Ibu sedang mengumpulkan uang. Aku juga. Kau pun dari dulu begitu dan kita sama-sama tinggal satu rumah,” Saija agak ngotot, “jadi apa perlu kau berangkat?”
“Uangnya lebih banyak, Ja!” Trisna setengah melempar kaosnya ke dalam tas. “Bukan cuma hujan, langit pun bisa kita hadang kalau rumah kita sudah diperbaiki.”
“Dasar lebay!” Saija sering geli sendiri dengan kata-kata kakaknya yang suka di dramatisir akibat terlalu banyak nonton film Bollywood di televisi semasa kecilnya.
“Terus terang, aku ragu kau pergi karena sebetulnya curiga dengan kerjaan barumu,” lanjut Saija.
“Kau kan sudah cari namanya di internet dan betul ada kan?”
Saija memang sudah mencari calon perusahaan tempat kakaknya bekerja, mulai dari lokasi, berita terkait kantor tersebut, hingga profil perusahaan.
“Ya, tapi teman kau yang namanya Ben itu mencurigakan. Kau bahkan baru bertemunya selama dua minggu.”
“Tiga minggu.”
“Terserah, yang jelas katamu ia bahkan tak akan ikut kerja ke sana.”
Trisna menutup resleting tasnya kemudian menepuk-nepuknya, memastikan tas besarnya itu telah padat terisi.
“Entahlah, mungkin dia ada kerjaan lain,” balas Trisna mengangkat bahu. “Kau seharus ikut senang karena kakakmu ini akan kirim uang dengan nominal banyak.”
Saija tak menjawab tapi tampak masih tak puas dengan jawaban kakaknya itu.
“Aku hanya bisa bilang, kau harus ingat, kau bukan Bapak, jadi jangan bebani dirimu terlalu berat.”
“Kau belum lulus, jadi pikiranmu hanya tentang berapa banyak ilmu yang didapat.”
Ucapan Trisna barusan membuat Saija sedikit kaget. Ucapan yang mungkin ia belum dapat pahami sebab mungkin akan dimengerti kalau ia sudah mengalaminya, tetapi ia paham betul bahwa kakaknya bukanlah orang yang tega-teganya bicara demikian.
Saija membalas, “Aku memang belum lulus, tapi aku kuliah karena ingin seperti kau.”
Trisna menggeleng sembari tertawa kecil. “Kau yang terbebani Bapak.”
Kemudian Trisna merapihkan pakaian-pakaiannya yang berantkan di dalam lemari, membiatkan Saija duduk terdiam di kamarnya.
Ia tak memandang Saija lagi namun membayangkan raut dinginnya yang terbentuk seketika.
"Kau juga jangan berulah lagi," lanjut Trisna nyengir, supaya suasana cair.
"Eits, sekarang kan bukan SMA lagi... Mana ada mahasiswa bikin rusuh!"
Seminggu kemudian Trisna berangkat dengan diantar Ibu, Saija, dan Rinjani di pelabuhan.
Ibu sempat menitikkan air mata begitu Trisna hendak berjalan menuju kapal, sebab itu pertama itu pertama kali anaknya merantau jauh dari rumah dan akan tinggal seorang diri. Rinjani pun sempat memeluk dengan gengsi tapi terasa rindu teramat sangat dari dekapannya yang lama. Saija memeluk sebentar, menepuk-nepuk pundak Trisna dingin, dan wajahnya cuek namun itu sebuah pemandangan biasa untuk semuanya.