“Hutangmu sudah sangat banyak, Martinus! Aku sudah tidak bisa lagi menunggu!” Suara ketus milik Damanik menggema di belakang rumah. Mutiara merapatkan tubuhnya, menyimak pembicaraan itu lebih jelas.
“Aku kan sudah berjanji akan melunasinya minggu depan,” jawab Martinus sambil menekan suaranya agar tak terdengar ke mana-mana. Lelaki berusia 55 tahun itu tampak menjentikkan abu cerutunya.
“Aku tidak tahu bagaimana caramu menghitung hari. Seminggu kamu jadikan dua minggu, dua minggu kamu jadikan sebulan. Apakah memang begitu orang-orang Pariaman semacam kamu berhitung?” Jelas ada nada mengejek dalam kalimat Damanik.
“Jangan membawa-bawa kampungku, Damanik!” Martinus tampak tersinggung. Ditatapnya lelaki berkumis lebat itu tajam, seakan mengancam.
Bukannya gentar, Damanik malah tertawa mengejek. “Baiklah. Kamu kuberi waktu sampai minggu depan. Berarti hari Sabtu berikutnya hutangmu sudah harus lunas, paham?”
Dengan wajah geram, Martinus pun mengangguk kecil. Yang penting baginya, rentenir bernama Damanik itu segera enyah dari hadapannya. Damanik masih tertawa ketika meninggalkan halaman belakang rumah Martinus.
“Ayah, ada apa Amang Damanik ke sini?” tanya Mutiara curiga. “Ayah berhutang lagi?”
“Ah, sudah! Jangan ikut campur urusan orang tua!” Martinus mengibaskan tangan sambil berlalu. Mutiara menatapnya resah. Sampai detik ini, ayahnya masih saja suka berhutang pada rentenir kampung itu. Padahal hutang-hutang sebelumnya, selalu saja ibunya yang harus melunasi.
@@@
“Tidak ada lagi yang bisa aku berikan untuk melunasi hutang-hutangmu itu, Bang. Kambing pun sudah Abang jual kan bulan lalu.” Nirmala menatap suaminya dengan raut menyesal.
“Uang warungmu?”
“Mana cukup? Warung itu hasilnya tak seberapa, hanya cukup untuk makan. Itu pun kadang-kadang kurang.”
“Bagaimana dengan tanah di ujung kampung itu? Kita bisa menjualnya, kan?” saran Martinus bersemangat. Ia benar-benar tak kehabisan akal.
“Itu tanah milik almarhum Haji Hasan yang beliau wariskan pada anaknya, Azzam. Tidak mungkin kita berhak menjualnya!” jawab Nirmala sambil menggeleng kuat.
“Kenapa tidak? Bukankah Azzam telah menyerahkannya padamu?”
“Menyerahkan untuk dirawat dan dimanfaatkan selama dia bermukim di Jawa, bukan untuk dijual, Bang!” Suara Nirmala bergetar.
“Alaaah! Itu kan sama saja. Dijual kan sama juga dengan dimanfaatkan! Dasar kamu saja yang pelit!”
“Bagaimana bisa sama? Aku tidak punya hak sama sekali untuk menjualnya. Lagi pula, almarhum Haji Hasan pasti tidak suka tanah itu dijual. Sebab beliau ingin kelak Azzam membangun pesantren di atas tanah itu.”
Martinus mendengus kesal. “Banyak alasan! Kalau begitu digadai saja!”
“Siapa nanti yang akan menebusnya? Untuk membayar hutang Abang saja kita sudah keteteran,” sahut Nirmala menolak.
“Menyesal aku punya istri sepertimu!”