“Kalian harus mengurus semuanya sampai tuntas! Aku tunggu malam ini juga! Ingat, di kebun ambacang!” Suara Damanik memecah keheningan, “Martinus keparat itu telah mengingkari janji! Harusnya hari ini dia datang membayar lunas semua hutangnya!”
“Kami akan laksanakan semua perintah Amang hari ini juga. Pokoknya, nanti malam Ajo Martinus sudah ada di kebun ambacang!” sahut Bujang, salah seorang kaki tangan Damanik memastikan. Empat rekannya mengangguk mengiyakan.
“Jangan pernah menyebutnya dengan gelar Ajo di hadapanku! Aku tak suka!” bentak Damanik keras. Kumis lebat lelaki Batak itu bergerak-gerak menahan marah.
“Eh, iya, Amang. Maksud aku si Martinus keparat itu!”
Damanik tersenyum puas. Ia tahu, kelima anak buahnya itu tak pernah mengecewakan. Mereka selalu tanggap kemauannya, dan itu membuatnya tak segan-segan mengeluarkan uang banyak untuk membayar mereka. Kelima anak buahnya itu memiliki tubuh yang tinggi-tinggi dan berotot. Bujang adalah yang selalu melekat pada Damanik, mengikuti ke mana pun Damanik pergi.
Hanya saja sosok Damanik kalah besar dibanding mereka berlima. Tubuh rentenir yang biasa dipanggil Amang karena berasal dari Sumatera Utara itu tergolong pendek, dengan tinggi yang tak melebihi 160 cm. Bertubuh gempal, tapi jika sedang berjalan bersama kelima anak buahnya, Damanik dibuat tenggelam.
@@@
Malam telah larut ketika Nirmala melangkah keluar, menuju halaman samping rumahnya yang sederhana. Lalu duduk perlahan di bangku kayu panjang. Rembulan di langit bersinar terang, mencurahkan sinar gemerlapnya ke seluruh pelosok alam. Ia seakan tersenyum pada ranah Minang yang damai. Kampung Paraweh yang sunyi pun ikut mandi cahaya.
Nirmala menarik napas dalam. Badannya tersandar ke dinding rumah. Sementara pikirannya melayang entah ke mana. Pembicaraannya dengan Mutiara tempo hari terasa mengusik lagi. Makassar…, haruskah ia berpikir untuk kembali? Artinya ia harus siap dengan segala risiko.
“Teguhkan hatimu, Nirmala! Teguhkan hatimu!” Kalimat Larasati terngiang lagi di telinganya. “Jika kamu bertahan di sini kamu akan bernasib sama seperti aku. Jadi perawan tua seumur hidup! Jangan pikirkan lagi darah bangsawan yang mengalir di tubuhmu, ia hanya akan membuatmu terbelenggu!”
“Tapi… aku tidak siap kehilangan keluarga ini, Kak Laras. Kakak pasti tahu bahwa aku sangat mencintai Ayah dan Ibu. Juga Kakak!” jawab Nirmala waktu itu. Nyaris tersedu.
“Aku tahu! Aku percaya! Tapi sungguh, rumah ini bukan tempat yang baik bagimu, Dik! Kamu mencintai Martinus, kan? Dia juga mencintaimu. Apalagi? Jangan menunggu sampai kamu kehilangan kesempatan ini. Pergi dan menikahlah dengannya!”