‘Ada kalanya cinta membutakan mata kenyataan’
“Jangan goyang-goyang, Da!” ucap Ranting gusar. Sejak berupa benih, Daun memang sangat suka melompat riang. Namun Ranting berbeda, ia sangat cemas dengan kegemaran Daun. Ranting mencintai Daun, sehingga selalu berusaha menjaganya.
“Nggak apa-apa, Ting.” Daun senang sekali bergoyang. Ia memiliki harapan besar. Mimpi yang selalu hadir dalam lelap. Ia menyukai Ranting dan mencintai Mentari.
Lain Ranting dan Daun, Mentari pun lain. Mentari tidak pernah memedulikan Daun. Cinta Daun tidak pernah berbalas meski pun berkali-kali Daun bergaung memanggil. Mentari memang sangat sulit dijangkau. Jauh.
“Ting, kenapa yah Mentari tidak pernah peduli padaku?”
“Lho, Mentari sangat baik Da... ia selalu menyinari kita,” ucap Ranting masih berusaha menabahkan Daun yang selalu sedih menjelang malam. Saat itu, Daun hanya bisa melihat betapa perhatiannya Mentari terhadap Bulan. Menyinari Bulan yang cantik dan melindunginya dari belakang. Meskipun Bulan tidak pernah tahu.
“Ia hanya baik dengan Bulan yang cantik, selalu setia di belakang Bulan... menyinarinya dekat sekali... sedangkan kita? Haih... jauh sekali.” Daun selalu merasakan kecemburuan dengan Bulan karena Mentari berada paling dekat dengannya. “Seandainya aku lah si Bulan...,” Daun berucap tidak jelas.
“Hush... Mentari dan Bulan adalah penguasa langit, jangan lagi berucap yang tidak sopan!” tegur Ranting tulus, meskipun cemburu Ranting tetap bijaksana. Seberapa besar pun Daun tidak menyadari ketulusannya, ia selalu ada untuk Daun. Ranting memegang teguh cintanya yang telah mengakar dalam hatinya.