‘Daun tak lagi berarti ketika gugur dari ranting’
“Rasta! Tunggu!” seruku sembari berlari, mengejar sosok lelaki yang selalu hadir dalam mimpi. Ia merangkul pinggang seorang gadis yang berpenampilan glamor dan sangat menarik. Sungguh penampilannya berbeda denganku.
Ia menoleh sebentar dan tersenyum sinis. Sial! Apa maksudnya? Aku yang terengah-engah mengejarnya malah diberi senyuman sinis seperti itu! Aku terhenti kemudian hanya menatapnya yang berjalan semakin menjauh. Terlalu jauh untuk kuraih.
“Rasta!” namun ia malah hilang, seperti ditelan kabut di depan sana dan aku...
“Rastaaaaa!” jeritku. Terengah-engah nafasku, begitu juga keringat yang rajin membasahi sekujur tubuh. Tersentak, badanku terdorong ke depan, mata pun ikut membelalak dengan peluh sekujur tubuh yang sedang menetes.
“Abel... kamu kenapa, Nak?” tanya Mama cemas. Wanita paruh baya itu menoleh sembari membawa setumpuk pakaian di sebelah kiri tangannya. Buru-buru disusunnya ke dalam lemari pakaian sebelum menghampiriku.
“Abel mimpi buruk, Ma,” jawabku menyandarkan punggung, terasa sungguh lelah.
“Kamu nggak doa sih semalam,” tegur Mama sembari mengelap keringat yang bercucuran di dahi. Aku mengangguk, mengiyakan kelalaian tadi malam.
Lelaki itu memiliki postur tinggi dan kurus. Namun tidak meminuskan penampilannya bak pangeran masa kini. Dengan fashion yang selalu cocok dengan tubuhnya, lelaki itu selalu tampil percaya diri. Barisan poni jatuh menyamping, menemani mukanya yang terbilang panjang oval dengan dua lesung menghiasi pipinya.
Rasta, pria yang kuperjuangkan dengan segala cara. Lelaki yang sangat kusukai dan kuidolakan. Bagaimana tidak, jika Rasta memiliki semua impian setiap gadis. Ayahnya pengusaha hotel dan sawit terbesar di Indonesia dan beberapa perusahaan lain yang turut berkembang, Ibunya perancang terkenal, dan dia pemusik handal. Kesempurnaan nyaris ditakdirkan semenjak ia bernafas di dunia ini. Ia sangat dimanja dan semua keinginannya terpenuhi. Meskipun begitu ia lantas tidak menjadi pribadi yang sombong, Rasta malah menjadi lelaki yang low profile. Tidak ada satu pun gadis yang dapat menolak untuk jatuh cinta padanya.
Ada sebuah ‘tetapi’ untuk Rasta. Sebagai pribadi idola kaum wanita akhirnya mataku terbuka melihat tipe wanita pilihannya juga lah tidak sembarangan. Kami sempat dekat, bahkan membuatku melupakan keberadaan Dexter. Tetapi ia malah memilih gadis lain, seorang model yang lagi naik daun. Ia lah alasanku kehilangan Dexter sebagai orang terdekat di dalam hidup. Dan luka tidak segan-segan memerlihatkan wujudnya di hatiku saat Rasta meninggalkanku.
Mengapa hari ini aku harus memimpikannya lagi?
♥♥♥
“Apa ini?” Bu Dina menunjuk laporan yang kukerjakan.
“Maksud Ibu?” tanyaku bingung sembari melihat map laporan yang siap dilemparkannya ke atas meja tetapi belum juga dilakukannya. Wajah Bu Dina sudah merah menahan amarah. Dia paling pantang dengan pekerjaan yang berantakan. Bu Dina memang sangat perfeksionis.
“Laporan macam apa ini? berantakan begini? Item ini dan itu tidak jelas!! Ada yang malah tidak ada... gimana sih kamu kerja?” bentaknya tidak puas dengan pekerjaanku. Aku melirik sebentar sebelum meneruskan, “jadi, Bu?”