Namaku Marsya Aurely, usiaku sekitar 22 tahun. Dalam hidup ini aku sama sekali tak berniat untuk dekat dengan pria manapun, apalagi untuk menikah, aku sangat alergi terhadap pria, apalagi pria tampan.
Aku menjadi begini bukan tanpa alasan. Semua karena trauma masa laluku yang menyakitkan, dimana ayah kandungku telah tega meninggalkan aku dan ibu saat bahkan aku masih di dalam kandungan.
Hidup tanpa kasih sayang seorang ayah, membuatku memiliki pandangan berbeda tentang pria, menurutku mereka adalah mahluk yang hanya akan menyakiti para wanita. Dan aku tak ingin di sakiti oleh mahluk yang bernama pria.
Satu hari yang lalu...
"Kedatanganku kemari ingin melamar Marsya untuk Leo, putra kami," Ujar Dave, yang merupakan ayah angkatku yang baru saja datang dari kota bersama istrinya, Erika. Setelah sekitar 17 tahun berlalu mereka baru berkunjung lagi kemari dan tiba-tiba membawa berita yang mengejutkan itu. Sekarang sepasang suami istri itu tengah bicara dengan ibuku, Rihana dan juga kakekku di ruang tamu rumah kami. Sedangkan aku hanya mendengarkan percakapan mereka dari balik pintu kamarku yang ku buka sedikit.
"Sekarang mereka berdua sudah sama-sama dewasa dan sudah cocok untuk berumah tangga!" Sahut istrinya, Erika, turut menambahkan omongan suaminya, dan ku lihat Ibu dan kakekku hanya tersenyum seraya mempersilahkan mereka untuk minum. Dari raut wajah Ibu dan kakek, aku bisa melihat kalo mereka sepertinya juga setuju dengan rencana pasangan suami istri yang tengah berbincang ringan dan sesekali tertawa bersama mereka.
"Kalo saya terserah pada Marsya saja, kalo saya setuju-setuju saja." Jawab ibu ku akhirnya seolah memperjelas arti senyumannya sejak tadi.
Ah... aku tidak mau menikah, apa lagi dengan pria tampan.
Dan setelah kedua belah pihak tampak setuju, ku lihat Ayah angkatku dan istrinya segera berpamitan untuk undur diri, aku sempat keluar dan menyapa mereka sekilas sebelum akhirnya mereka masuk ke dalam mobil kemudian melesat pergi.
Jujur pembicaraan singkat antar dua keluarga di ruang tamu tadi seolah memaksa otakku untuk berpikir keras. Bagaimana caranya aku menolak dan menghindari perjodohan ini? Setelah sebelumnya aku dengan bodohnya mengiyakan saja karena merasa tidak enak pada ayah angkatku, Dave, yang membiayai pendidikan sekolahku hingga tuntas.
Aku benar-benar berada pad situasi yang rumit saat itu, hingga sebuah ide gila pun tercetus di kepalaku.
Malam itu juga aku melarikan diri pergi ke ibu kota dengan persiapan dan uang seadanya. Aku nekat melakukannya karena aku merasa tak punya pilihan lain.
Hingga pada akhirnya, pagi ini, aku sudah berada di kota yang sangat asing bagiku.
"Hai... nona, bangunlah! kita sudah sampai di pemberhentian terakhir." Ujar Sang kondektur bus yang berusaha membangunkanku. Sejenak aku mencoba mengerjapkan mataku, mencoba mengumpulkan nyawaku kembali ke dalam dunia nyata. Ku lihat kesekelilingku sudah tampak sepi dan tak ada seorang penumpang pun selain aku. Aku pun mulai bangkit berdiri, kemudian melangkah pelan turun dari bus.
Dengan tas ransel besar di punggungku, aku mulai mengedarkan pandanganku ke sekeliling area terminal yang sudah tampak ramai orang berlalu lalang meskipun matahari belum muncul dengan sempurna.
Entahlah, aku akan pergi kemana setelah ini, aku sama sekali tak punya tempat untuk ku tuju. Tidak ada yang ku kenal di kota ini, kecuali keluarga ayah Dave, tapi aku tak mungkin pergi kesana kan? Karena kepergian ku ini justru ingin menghindari perjodohan ini.
Aku pun tetap melangkahkan kakiku perlahan meskipun aku belum tahu arah tujuanku.
Matahari sudah mulai tampak meninggi saat aku sudah merasa kelelahan berjalan kaki dan akhirnya langkahku pun terhenti di sebuah halte bus, untuk sejenak aku duduk disana beristirahat melepaskan lelah.