Bukan Gagal Nikah

Diena Mzr
Chapter #2

1

MENIKAH sama Zodi mungkin satu dari keajaiban yang sudah diharapkan orangtuaku setiap malam. Aku juga selalu berharap hari cepat berlalu, karena bulan depan aku akan menyandang status istri Mahendra. Iya. Zodi Mahendra adalah calon suamiku yang pertama dan aku harap bisa jadi yang terakhir kalinya.

Aku sama Zodi sudah berangan bisa menikah sampai kami punya anak dan menua di Paris. Impian kami memang seindah dan semuluk itu walau prakteknya belum tahu bagaimana. Dia yang terkadang masih suka salah pakai kaus kaki saja bermimpi bisa tinggal di kota romantis itu. Tapi kami berdua sudah mengkhayal untuk tinggal di sana atau hanya sekadar honey moon dengan memanfaatkan cuti kami agar kami bersemangat kerja dari jam sembilan sampai jam lima sore.

Demi harapan orangtua dan sesuap nasi di masa depan, aku sudah mati-matian kuliah di jurusan sastra Inggris di kampus yang sama dengan Zodi dan bisa lulus tepat waktu dengan harapan aku nggak cuma bisa bengong mendengar orang bisa ngomong bahasa Inggris di Perancis. Apalagi bahasa lokal di sana yang mana menurut aku selalu jadi bahasa yang romantis.

Bagaimana aku bisa romantis-romantisan sama Zodi kalau aku nggak bisa bahasa Perancis? Yang ada, aku selalu tergantung sama dia untuk mengerti pembicaraan orang lokal di sana. Lama-lama dia bisa selingkuh sama orang Perancis. Aduh, amit-amit! Aku nggak mau tinggal di sana sebelum mahir dengan bahasa itu.

Namun, lagi-lagi aku terbentur kenyataan dan kursus Korea yang kujalani malah menyelamatkan masa depanku dengan Zodi. Karena aku jadi bisa melamar kerja di kantor yang sama dengan Zodi saat ada lamaran untuk penerjemah Korea.

Pokoknya kata Mama, aku sudah memilih jodoh yang tepat karena Zodi nggak mau aku kerja di kantor yang lain. Selain itu, aku sudah bangga setengah mati punya calon suami kayak Zodi.

Gimana nggak bangga kalau dia salah satu mahasiswa yang lulus dengan nilai terbaik di kampus? Belum lagi dia sudah jadi idaman cewek-cewek di kampus, dan cuma aku yang bisa memenangkan hatinya. Karena dia, aku rela menghabiskan waktu luangku untuk kursus bahasa Perancis dan Korea sekaligus sembari kuliah. Terus terang, aku suka sekali film-film Korea dan lelah karena harus membaca teksnya. Akhirnya aku memutuskan untuk belajar bahasa Korea juga dan tentu saja aku mengajak Zodi untuk ikut kursus di tempat yang sama.

Walau kami nggak ada keturunan bule sedikitpun, ternyata kami bisa lulus bareng dari dua tempat kursus itu. Susah, sih. Tapi karena ada Zodi, semua tantangan bisa aku lewati dengan suka cita.

Sayangnya, kenangan manis dan kebahagiaan itu cuma bisa kukenang sampai malam ini saja karena aku tahu Zodi ngutang! Ya, Allah! Sekarang aku sedang menanyakan kebenarannya. Tapi dia malah menunduk dengan bola mata yang terus berlarian seperti bola bekel yang kulempar dari tanganku. Apa yang sedang dia pikirkan?

“Zod, jawab pertanyaan aku,” seruku kembali memecah hening dan menghapus angan-angan indahku bersama Zodi. Malam ini aku benar-benar ingin mendengar sendiri penjelasannya setelah aku tahu dari percakapan Tori dan Sisil tadi.

“Iya, sayang. Mereka benar.”

“Benar apa?” cecarku lagi masih ingin memastikan.

“Aku pinjem duit di aplikasi online.”

“SERIUS?” cecarku masih nggak percaya.

“Resmi kok. Diawasin sama Pemerintah.”

Sorot mataku sontak berubah seperti naga ingin melahap mangsanya dengan api amarahnya tapi aku masih berusaha untuk sabar mendengarkan ucapannya walau nggak seperti peri yang manis dan selalu tabah.

“K-kamu nggak marah, ‘kan?”

Hah? Pertanyaan apa itu? Apa dia nggak mendengar nada bicaraku sudah setinggi sutet? Kali ini aku nggak bisa lagi jadi sosok kekasih yang sabar dan pengertian. Gimana aku nggak kesal? Darahku yang sudah mendidih dan sekuat tenaga sudah kutahan supaya nggak meledak dari tadi baru naik ke ubun-ubunku setelah mendengar pertanyaannya yang terakhir.

Aku menggeleng tak percaya. Marah. Aku marah karena dia nggak mau izin dulu kalau dia mau berhutang. Mau itu aplikasi online resmi yang diawasi Pemerintah atau rentenir sekalipun, aku nggak akan mendukung niatnya itu. Sampai kapan pun!

“Kenapa kamu geleng-geleng? K-kamu nggak keberatan, ‘kan?”

“Jelas aku keberatan, Zod! Apa kamu nggak lihat aku lagi marah?”

Zodi sontak terperanjat mendengar nada suaraku yang meninggi seoktaf lagi. Aku sudah berusaha tetap tenang di antara badai ini, tapi sulit. Intonasi ucapanku mungkin sudah menyaingi toa karena rasa kesalku.

“Kenapa kamu masih tanya lagi?” tanyaku dengan suara normal lagi. Daripada kami jadi tontonan orang-orang yang mau pulang dari restoran atau baru saja tiba, aku mengatur napasku.

“Yaa, sayaaang. Kita mau nikah bulan depan. Kalo nggak pinjem, aku mau nikah sama kamu di mana?”

“Ya, di mana aja juga bisa.”

“Tapi itu impian kamu, kan?”

Lihat selengkapnya